2018

540 43 9
                                    

Cahaya mentari masuk melalui celah-celah gorden hijau kamarku. Sinarnya menusuk mataku yang masih terpejam. Perlahan aku membuka mata. Seketika kepalaku pusing luar biasa. Tubuh pun pegal semua. Perutku melilit, sakit banget. Mataku terasa bengkak, berdenyut dan panas. Ada apa sama aku?

Aku meraba tempat tidur, mencari ponsel yang nggak pernah jauh dariku, bahkan saat tidur. Rutinitas pagi pun selalu kuawali dengan mengecek ponsel. Aku selalu membuka pesan selamat pagi dari Juna yang nggak pernah terlewat sejak kami resmi berpacaran.

Aku meraba ke sana kemari dan menemukan ponsel di bawah bantal. Segera aku memastikan sidik jariku bisa terbaca ponsel. Saat layar ponsel mulai menyala, aku sedikit memejamkan mata karena silau. Setelah berkedip beberapa kali, aku memandangi layar ponsel yang memperlihatkan fotoJuna yang memelukku dari belakang. Ada 47 pesan yang belum aku baca.

"Tumben rame hape gue." Aku heran karena tiap pagi biasanya hanya pesan dari Juna yang masuk.

Aku mengubah posisi tidur dari telentang menjadi menghadap ke kiri, sambil memeluk guling. Segera aku membuka aplikasi WhatsApp, mencari nama Junaku dan mengabaikan puluhan pesan lain yang masuk. Akhirnya ketemu setelah cukup jauh turun ke bawah. Ini aneh banget karena nggak biasanya pesan dari Juna tertimbun terlalu dalam. Nggak ada pesan baru dari Juna. Ada yang salah di sini.

Aku dan Juna sudah berpacaran lebih dari sepuluh tahun, sejak kami menjadi teman sekelas di kelas XI SMA sampai sekarang kami sudah berkarir. Aku merintis bisnis pakaian dan Juna menjadi pengacara. Selama itu pun Juna nggak pernah melewatkan menyapaku setiap pagi walau hanya lewat pesan singkat. Saat Juna terbaring lemah di RS karena sakit DB pun, dia tetap berusaha menelepon, sekadar mengucapkan selamat pagi dengan suara lemahnya.

Tapi hari ini, nggak ada telepon dari Juna. Pesan singkat atau WhatsApp pun nggak ada sama sekali. WhatsApp terakhir dari Juna sudah lebih dari 24 jam yang lalu. Pesan terakhirnya berisi ungkapan perasaan bahwa dia sayang sama aku. Dia bakal sayang aku sampai mati. Hampir tiap hari Juna mengatakan ini dan nggak pernah bosan mengulangnya. Aku juga nggak bosen mendengarnya karena aku juga sayang banget sama dia.

Aku bangkit dari tidur dan duduk bersandarkan dinding. Kepalaku rasanya hampir pecah. Sakit banget.

Aku memejamkan mata sambil memijat kepala, berharap pusingnya segera lenyap. Setelah merasa lebih baik, aku memandangi kembali ponsel yang ada di genggaman tangan kiri. Segera aku menelepon Juna. Nada sambung mulai terdengar. Lama aku menunggu. Nada monoton yang berdengung semakin menambah rasa cemasku.

"Nomor yang anda tuju tidak menjawab. Silakan tinggalkan pesan setelah nada bip." Terdengar suara wanita menjawab teleponku.

Aku menghela napas. Perasaanku semakin nggak enak. Aku mencoba menelepon Juna kembali. Tapi, lagi-lagi gagal. Aku mencoba mengulangi beberapa kali lagi, hasilnya tetap nihil. Teleponku selalu berakhir dengan jawaban operator.

Aku semakin panik. Juna bukan orang yang membiarkan kekasihnya kebingungan mencari kabar darinya. Dia selalu memberi kabar sesibuk apa pun, bukan seperti sekarang yang hilang tanpa kabar begini. Sebelumnya, dia sama sekali nggak pernah bikin aku menunggu kabar darinya seperti ini.

Kepalaku semakin pusing. Dadaku berdetak semakin kencang. Aku panik bukan main. Pasti ada yang salah sama Juna.

Aku membuka aplikasi WhatsApp lagi. Aku berniat mengirim pesan kepada Juna untuk menanyakan kondisinya. Tanpa sadar, aku membaca potongan pesan masuk yang belum sempat kubaca tadi.

Air mataku mendadak mengalir deras. Bahuku naik-turun bersamaan dengan tangisan yang semakin kencang. Aku nggak bisa menahan kesedihan lagi.

Baru aku sadari bahwa ini hari pertama tanpa Juna.

Happy reading.
Lempar ini dulu deh.
Ada yang minat?

With(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang