5 Januari 2007

86 12 2
                                    

Setelah tiga hari izin nggak masuk sekolah, akhirnya hari ini aku siap berangkat lagi. Sudah bosan banget aku di rumah terus. Badanku juga sudah enak banget ini. Sesekali emang masih terasa pusing, sih, kepalaku. Tapi, aku baik-baik aja, kok. Lag pula, ada Lena ini di kelas. Dia pasti akan memanjakan aku, deh, nanti. Ah, sekarang juga ada Arjuna.

Saat aku boleh keluar rumah sakit, Arjuna emang ikut pulang. Kali ini dia pulang ke rumahnya sendiri. Tapi, setiap hari dia datang ke rumahku. Katanya, sih, dia mau menjenguk aku. Tapi, akhirnya dia malah membantu Mama. 

Ada aja tugasnya selama mampir ke rumah ini; ya, membeli air galon dan gas dua belas kilo, mengganti lampu teras depan yang mati, mengganti genteng yang mendadak bocorlah, bahkan kemarin Arjuna memotong pohon mangga depan rumah yang dahannya sudah sampai ke rumah tetangga. Kalau terlalu lama di rumah, aku yakin Arjuna akan merenovasi total rumah ini. Mama bahagia banget setiap Arjuna datang karena ada yang membantu, gratis lagi. Aku yang pusing meliatnya.

Lena saat mampir menjengukku aja sampai heran. Dia berkali-kali memastikan kalau antara aku dan Arjuna nggak ada apa-apa. Lena masih ngeri kalau ingat apa yang dialami oleh Irwan dulu. Dia nggak mau kalau Arjuna sampai menyakitiku, padahal sampai detik ini pun boro-boro kasar, Arjuna ngomong dengan nada tinggi padaku aja nggak pernah.

Selesai memakai seragam sekolah, aku mengambil tas ransel dari meja belajar, lalu keluar kamar. Di ruang makan Papa, Mama, Putri, dan Arjuna sudah duduk manis. Mereka siap sarapan.

Nggak usah pada heran kalau ada Arjuna di sini sekarang. Dari kemarin, dia berisik memaksa menjemput aku. Awalnya, aku menolak. Aku masih punya Papa yang bersedia mengantar sekolah. Tapi, manusia satu itu nggak ada capeknya memaksa. Dia bahkan sampai minta izin ke Mama cuma untuk antar jemput aku. Daripada sakitku tambah parah, aku akhirnya setuju.

"Kamu beneran udah enakan? Nggak mau istirahat lagi di rumah?" tanya Mama saat aku duduk di kursi.

Aku menggeleng kuat. "Udah cukup, ah. Bosen di rumah mulu," jawabku, lalu mulai mengambil nasi dan ayam goreng.

"Kalau nggak kuat, jangan dipaksain, deh. Mama nggak mau kamu pingsan lagi lho. Bikin repot aja," omel Mama.

Mama emang gitu. Kalau belum kejadian, Mama pasti ngomel-ngomel. Coba aja lihat kalau sudah kejadian, Mama masih tetap ngomel juga sih, tapi sambil nangis. Kemarin waktu aku masih di rumah sakit aja sudah berkali-kali Mama nangis. Nggak sampai nangis meraung-raung gitu juga, sih, tapi tetep aja bikin aku ikut sedih.

"Mama tenang aja. Nanti Ocha saya yang jagain."

Aku langsung menoleh ke kiri. Mataku menatap tajam cowok nggak tau diri di sampingku ini. Kenapa dia menawarkan diri menjagaku? Dia kira aku bayi baru lahir yang perlu dijaga segala? Lagi pula, ya, eh tunggu dulu. Ada yang aneh, deh.

"Lo manggil Emak gue apaan tadi, Jun?" tanyaku. Dahiku berkerut dan mataku menyipit. Aku harus memastikan telingaku masih berfungsi dengan baik.

"Arjuna manggil Mama ya Mama. Kenapa, sih, Kak? Ada yang salah?" sahut Mama sambil menyuapi Putri, sementara Putri cuma menahan tawa dengan mulut penuh nasi, membuat pipinya yang chubby semakin menggembung mirip pipi kodok.

Aku mengalihkan pandangan ke Mama yang duduk di depanku. "Buat apa?" tanyaku masih nggak mengerti.

"Lho, Mama, kan, emang Mama. Kamu, tuh, yang sembarangan. Kenapa malah manggil Mama Emak? Emak apaan? Emak Lampir? Kamu minta dikutuk jadi batu biar bisa dibikin cobek? Lumayan buat nyambel. Kebetulan cobek Mama udah minta diganti tuh," omel Mama panjang lebar.

Aku cuma bisa diam. Aku melihat ke arah Papa. Tapi, Papa memilih pura-pura nggak mendengar daripada ikut kena omel. Nggak ada yang berani melawan Sang Ratu di rumah ini.

With(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang