15 Mei 2007

70 19 2
                                    

Gue mendengar bunyi dering ponsel. Dengan mata masih terpejam, gue meraba-raba kasur mencari posisi ponsel gue. Ah sial! Mana sih ini? Gue kesal sendiri lalu duduk. Di dekat tembok terlihaf benda yang berkedip-kedip. Gue ambil ponsel itu. Nama Arjuna terpampang di sana.

"Berisik Juna!" sapa gue dengan penuh emosi.

Terdengar suara Arjuna tertawa dari ponsel gue. Ini bocah diomeli malah girang. Dua hari di rumah sakit bikin dia gila apa gimana, sih?

"Udah subuh masih merem aja lo? Diketawain ayam tuh," ejek Arjuna.

"Ayamnya ntar gue sembelih terus dibikin rica-rica," sahut gue sewot.

"Pedes. Ayamnya diopor aja deh biar nggak pedes," tawar Arjuna.

"Nggak doyan opor ah. Mending juga ayam bakar. Pakai sambel terasi beuh enak banget pasti." Aku membayangkan seporsi ayam bakar dengan nasi putih hangat lengkap dengan sambal dan lalapannya.

"Ayam goreng tepung juga enak deh. Kita makan sambil liat bukit kayak dulu biar seru." Arjuna membuyarkan hayalan enak gue.

"Yang gue kira lo mau bunuh gue terus jual organ tubuh gue dulu?" Gue ingat kejadian memalukan itu. Dan sekarang Arjuna mengungkit itu lagi? Minta digampar ini cowok satu emang. Dia tahu banget kalau gue malu setengah mati tiap mengingat kejadian itu.

Tuh lihat saja. Sekarang dia tertawa kencang banget. Coba kalo dekat, sudah gue tabok itu mulutnya.

Gue biarkan dia tertawa sendirian. Biar keram itu mulut tertawa terus. Suruh siapa jadi orang nyebelin banget.

"Udah ketawanya?" tanya gue sinis saat Arjuna selesai tertawa.

"Udah ah capek. Sana mandi! Udah bau lo. Bye," kata Arjuna lalu mengakhiri panggilan.

Gue bengong. Mulut gue terbuka lebar. Mata gue melotot memandangi poster MCR yang menempel di dinding kamar gue. Ini gue yang kesal kenapa dia yang memutuskan telepon gini sih?

Dan kelakuan Arjuna pagi ini sukses bikin gue uring-uringan nggak jelas seharian. Lena saja sampai kena omel gue gara-gara berisik ngoceh mulu tentang Didit. Panas kuping gue mendengar dia membanggakan Didit mulu. Iya kalau mereka jelas jadian. Lah ini kan ngambang. Jadian kagak tapi sayang-sayangan. Nanti kalau Didit jadian sama cewek lain nangis-nangis. Bilang Didit jahat, Didit kampret, Didit brengsek dan kemudian keluar lah sumpah serapah beserta nama hewan dan kotorannya.

Bel tanda jam istirahat kedua berbunyi. Bu Set segera mengakhiri pelajaran setelah memberikan tugas kepada kami. Nggak lama kelas nyaris kosong. Sebagian besar teman-teman gue jelas kabur ke kantin. Sementara gue sibuk membalas SMS dari Arjuna. Sejak dia di RS, nggak tahu kenapa dia jadi bawel banget. Berisik kirim gue SMS tiap menit. Mungkin yang namanya Arjuna ini diciptakan buat bikin hidup gue nggak tenang.

"Lo laper nggak?" tanya Lena yang sudah duduk di bangku Mirza.

"Laper nih. Istirahat tadi gue cuma makan siomay seporsi doang," jawab gue sambil mengetik balasan SMS untuk Arjuna. Kasihan kan anak orang kesepian di rumah sakit sendirian.

"Seporsi itu banyak, karung beras. Heran gue. Lo makan bisa sampe lima kali tapi badan kurus begitu. Cacingan lo ya? Gue beliin obat cacing deh ntar," ejek Lena.

"Heh ngaca! Lo sendiri gimana makannya? Nggak sadar suka ngabisin jatah makan gue? Terus mana lemak lo?" Gue balas mengejek.

"Kita berdua cacingan kali ya?" tanya Lena lalu tertawa.

Gue ikut tertawa. Nggak usah heran deh kalau kami saling hina. Ini biasa kok buat kami. Tapi lihat saja kalau ada orang lain yang menghina Lena, gue maki-maki dia. Enak saja dia mengambil tugas gue buat menghina Lena. Nanti nganggur dong gue jadinya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

With(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang