"OCHA BANGUN!"
Mataku terbuka. Aku kaget. Aku merasa ada yang berteriak memanggil-manggil namaku baru aja. Aku menguap, lalu memeluk guling kesayangan dan lanjut memejamkan mata kembali.
Samar-samar, aku mendengar ada yang menggedor pintu kamar.
"OCHA BANGUN!"
Seketika aku duduk. Kepalaku sedikit pusing, tapi aku harus segera sadar. Ternyata, ini bukan mimpi. Itu suara Mama.
Mataku langsung tertuju ke jam dinding di kamar. Jarum pendek menunjuk angka enam dan jarum panjang berada di angka tiga.
"Mampus telat!"
Aku segera bangkit. Buru-buru, aku berlari ke kamar mandi. Aku mandi dengan asal. Asal tubuhku basah. Asal gigiku berbusa. Aku nggak peduli kalau ternyata masih ada kotoran yang tertinggal di mata. Aku juga nggak peduli dengan bekas iler yang mengering dan berbau. Nggak ada cowok yang berminat menciumku hari ini.
Selesai mandi yang terlalu kilat, aku langsung memakai seragam sekolah. Aku menyisir sembarangan rambut sebahuku, lalu mengikatnya acak. Untung aku punya kebiasaan merapikan buku pelajaran tiap malam. Walaupun nggak belajar, tetap aku siapkan buku sesuai jadwal besok. Soal ada PR atau nggak, itu urusan belakangan. Aku mengambil tas ransel hijau kesayangan, lalu keluar kamar.
"Sarapan dulu!" perintah Mama dari ruang makan.
"Nggak sempet, Ma," tolakku sambil duduk di teras dan memakai kaus kaki.
Mama nggak peduli. Sambil memakai kaus kaki, Mama menyuapiku dengan nasi dan ayam goreng. Duh, enak!
"Makanya, kalo tidur, jangan malem-malem. Bangunnya susah, kan. Udah diteriakin dari tadi nggak bangun-bangun," omel Mama sambil tetep memasukkan makanan ke mulutku.
Aku diam aja, nggak berminat membantah apa pun. Aku sedang fokus memakai sepatu. Mulutku juga masih penuh nasi dan ayam goreng.
"Sekali lagi," perintah Mama sambil menyuapkan suapan terakhir.
Aku membuka mulut lebar-lebar. Kalau nggak telat, aku bisa nambah dua porsi. "Berangkat. Assalamualaikum," pamitku sambil memakai helm.
"Waalaikumsalam. Ati-ati." Mama membantu membukakan pagar.
Aku langsung pergi dengan kecepatan semaksimal yang kubisa. Aku menerobos sana sini dan menyalip mobil motor yang sama buru-burunya. Aku merasa punya nyawa sembilansaat ini. Aku nggak takut kalau terjadi tabrakan sama truk sekalipun, asal sampai sekolah nggak telat. Kalau telat, bisa dapat hukuman membersihkan kamar mandi yang super pesing itu. Mengerikan!
Sampai di sekolah, Babe, satpam sekolah gue, hampir menutup rapat gerbang. Untungnya, aku berhasil menyelinap masuk walau dengan bonus omelan Babe.
Aku memarkir motor bebekku sembarangan, lalu berlari menuju kelas. Sampai kelas, sudah sepi nggak ada penghuninya. Aku langsung menuju singgasana, bangku nomor dua dari belakang. Di mejaku ada tas. Ransel hitam dengan beberapa pin logo band metal nempel di sana sini yang entah milik siapa, aku nggak tahu.
Bodo amatlah! Aku mengambil topi dari dalam ransel. Setelah itu, aku berlari lagi, kali ini menuju lapangan upacara.
"Eh, baru dateng, Cha?" tanya Sela saat meliat gue masuk ke barisan.
"Iya. Kesiangan gue. Untung masih sempet masuk," sahutku sambil ngos-ngosan.
"Napas dulu boleh lho," kata Sela yang nggak tega meliat aku bernapas mirip ikan koi. Mulutku membuka dan menutup lebar agar mendapatkan oksigen lebih banyak.
Upacara dimulai. Pemimpin upacara masuk ke lapangan. Aku memilih diam daripada ikut bergosip bersama Sela. Bukan nggak minat, tapi aku lebih milih mengatur napas, apalagi posisiku tepat di bawah terik matahari yang aduhai.
KAMU SEDANG MEMBACA
With(out) You
Teen FictionArjuna Purusa. Lelaki yang hadir dan mengubah hidupku. Semua yang dilakukannya selalu melibatkan aku. Tapi, setelah sepuluh tahun lebih kebersamaan kami, bisakah aku mengikhlaskan kepergiannya? ~ Rosaline Sabatini