"Jadi lo beneran lagi deket sama Arjuna?" tanya Rani dengan hebohnya. Siomay yang sudah di depan mulutnya nggak jadi dia makan. Sendoknya dia letakkan lagi ke piring dengan sedikit kasar. Dia memandangku yang duduk di depannya dengan tajam, menuntut penjelasan.
"Ya, gimana kagak deket? Dia aja tiap hari duduk di belakang gue," jawabku malas.
Aku melanjutkan makan bakso. Gara-gara Lena yang ember, nih, Rani jadi heboh sekarang. Lena menyebarkan gosip kalau aku jadian dengan Arjuna. Emang Lena minta dibakar hidup-hidup. Dia lupa apa kalau Rani itu posesif banget denganku. Sekarang, Lena membuat masalah baru.
"Tiap hari mereka juga berangkat sama pulang bareng, tuh," kata Lena dengan mulut penuh ayam goreng.
"Pantes! Kalau gue cariin sekarang, susah banget lo. Ternyata udah punya pacar. Dan lo kagak pernah cerita sama sekali ke gue? Lo anggep gue apaan sih?" omel Rani mulai drama.
Ah, aku sudah males banget kalau gini. Ini nggak akan kelar sampai bel masuk nanti.
"Dan lo serius deket sama Arjuna? Dia Arjuna, lho. Itu cowok yang paling ditakuti di sini. Para guru aja nggak ada yang berani nyentuh dia. Lo tau itu, kan? Gue nggak mau, ya, lo sampe lecet. Gue nggak mau dia jahat sama lo, ya. Gue ngeri beneran, deh, kalo lo deket sama cowok model begitu," kata Rani panjang lebar.
Aku berusaha nggak peduli. Nanti kalau Rani capek, juga diam sendiri, kok.
"Tapi, Arjuna baik, lho, sama Ocha. Gue nggak tau, ya, ini anak pake pelet apaan. Tapi, kalo di deket Ocha, Arjuna, tuh, jadi beda. Aura seremnya ilang aja gitu, kecuali kalau ada yang berani gangguin Ocha. Udah aja langsung keluar tanduk setannya," kata Lena mencoba menenangkan Rani. Tapi, cara menenangkan Lena ada yang salah.
"Tuh, kan. Tetep aja dia masih cowok sadis. Dia cowok yang kasar. Bisanya nyelesein masalah pake otot, nggak pake otak. Lo nggak takut, Ocha tau-tau sekarat gara-gara kena pukul?" Rani meluapkan rasa nggak sukanya lagi. Bukan tenang, penjelasan Lena justru semakin menambah kecemasan Rani.
"Lagian lo ya, Cha. Udah bagus kemaren lo suka sama Mas Aji. Cowok keren, pinter, sabar, baik hati. Kenapa sekarang malah sukanya sama cowok model Arjuna, sih?" Rani nggak bosan memberikan ceramah.
Aku menghentikan makan. Aku tatap Rani yang segera sadar apa yang dia bicarakan salah. Rani jadi salah tingkah. Dia diam dan menunduk, nggak berani melihat wajahku lagi. Aku melipat dua tangan di meja.
"Lo mau buka luka lama gue? Katanya lo ngeri kalo gue lecet. Tapi, malah lo sendiri yang bikin luka gue berdarah lagi," kataku tajam. Aku emang paling kesal kalau ada yang membahas Mas Aji.
"Sorry sorry, Cha. Gue nggak maksud gitu." Rani minta maaf dengan wajah takut.
Lena pun ikut menghentikan makannya. Tapi, dia cuma diam, mungkin bingung harus berbuat apa.
Aku nggak peduli suasana kantin yang ramai. Jarang-jarang aku mau ke kantin waktu ramai gini, tapi malah ada yang membuat sakit ati. Aku nggak masalah kalau Rani nggak suka aku dekat dengan Arjuna. Toh, kita berdua emang nggak ada apa-apa. Aku nggak peduli dia mau mengomel sepanjang apa pun tentang Arjuna yang sadislah, Arjuna yang galaklah, Arjuna yang premanlah, apalah, apalah. Aku nggak peduli. Tapi, dia nggak usah bawa-bawa Mas Aji juga.
Rani dan Lena tahu banget gimana aku menangis selama seminggu cuma gara-gara Mas Aji menolakku. Mereka berdua tahu betul kalau sampai sekarang pun aku belum bisa benar-benar bangkit. Mereka berdua yang tahu banget kalau aku belum bisa melupakan Mas Aji. Jadi, kalau ada yang mengungkit cerita soal Mas Aji, lukaku yang belum kering ini sudah infeksi lagi. Rasanya perih.
Mataku sudah berair. Aku juga merasa mukaku panas. Dadaku mulai sesak. Aku yakin sebentar lagi pasti nangis.
"Cha, ikut gue!" Tiba-tiba Arjuna berdiri di belakangku. Dia menarik tangan kananku.
KAMU SEDANG MEMBACA
With(out) You
Teen FictionArjuna Purusa. Lelaki yang hadir dan mengubah hidupku. Semua yang dilakukannya selalu melibatkan aku. Tapi, setelah sepuluh tahun lebih kebersamaan kami, bisakah aku mengikhlaskan kepergiannya? ~ Rosaline Sabatini