Nggak terasa sudah di penghujung tahun aja. Rasanya hari berganti cepat banget. Perasaan baru kemarin aku berlari-lari keluar rumah cuma memakai popok doang. Sebentar lagi, aku sudah tujuh belas tahun aja. Masih tujuh bulan lagi, sih, aku ulang tahun. Jadi, kalian nggak perlu buru-buru kasih kado, ya! Sabar dulu aja! Nabung yang banyak, biar bisa membeli barang mewah dan mahal untuk kadoku nanti!
Hari ini, kelasku membuat acara untuk merayakan pergantian tahun. Kami berniat mengadakan bakar-bakaran di rumah Niken. Bukan membakar rumah Niken, tapi membakar sate dan jagung di rumah Niken.
Niken dengan senang hati mempersilakan kami semua main ke rumah. Asalkan kalau sudah selesai kami harus beres-beres. Semua setuju.
Sayangnya, sejak tadi bangun tidur, aku merasa nggak enak badan. Kepalaku pusing. Aku merasa melihat bintang berkelap-kelip di sekelilingku. Badanku juga rasanya ringan banget. Oke, aku emang mungil, jadi pasti ringan. Tapi, maksudnya, aku seperti nggak menginjak tanah lagi. Kalau berjalan, rasanya seperti melayang. Aku nggak mendadak berubah jadi kuntilanak, kan, ini?
Sudah pukul lima sore. Sebentar lagi Lena menjemputku. Sebenarnya, aku sudah siap. Aku sudah memakai kaus lengan panjang putih yang kututupi dengan jumper abu-abu dan celana jins biru. Tapi, aku ragu berangkat.
Nah sayangnya, aku sudah terlanjur janji pada anak-anak kalau akan ikut. Nggak lucu, kan, kalau aku membatalkan janji cuma gara-gara aku berubah jadi kuntilanak begini?
Aku juga sudah menjanjikan mereka akan membawakan jagung dua puluh biji. Kalau aku nggak ikut, pasokan jagung mereka akan kurang. Lena nggak akan mau dititipi jagung bakar doang tanpa kehadiranku. Dia akan lebih memilih nggak ikut juga kalau aku nggak datang. Emang sesetia itu dia terhadapku.
Aku masih menimbang baik buruknya ikut acara kelas ini. Sampai akhirnya, Lena berteriak-teriak di depan pintu pagar.
"OCHA OCHA." Lena yang menggunakan kaus lengan panjang warna ungu dan celana jins hitam sudah berdiri di luar pagar.
Oke, baiklah. Demi kemakmuran bersama, aku terpaksa berangkat. Semoga badanku baik-baik aja malam ini.
Aku segera berlari keluar rumah. Lena tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya. Aku ikut tersenyum walau badan rasanya seperti melayang.
Satu jam kemudian, aku dan Lena sudah sampai di rumah Niken. Jalanan sore ini macet banget. Rumah Niken yang biasanya cuma butuh waktu lima belas menit naik motor dari rumahku sampai menghabiskan waktu satu jam sendiri. Badanku jadi semakin nggak enak rasanya. Terlalu lama terkena angin, aku jadi mual.
"Eh, Cha, lo pucet. Nggak apa-apa? Sakit lo?" tanya Sela panik.
Aku mencoba tersenyum. "Nggak apa-apa, kok. Emang rada nggak enak badan. Tapi, enteng ini, mah. Gue masih sanggup kalau bakar jagung doang," jawabku sambil mengangkat jagung yang sudah kuolesin mentega dan saus sambal yang banyak. Jagung dalam genggamanku siap dibakar.
Semakin malam, rumah Niken bertambah ramai. Rumah Niken ini punya halaman depan yang lumayan luas, cukup luas menampung dua puluh manusia di sini. Teman kelasku sudah hadir semua, termasuk Arjuna. Dia berdiri di samping Mirza, di deket pohon mangga. Mereka asyik mengobrol sambil minum Coca-Cola.
Sejak kejadian Arjuna yang menghajar Irwan dulu, semuanya berubah. Oke, sikapku yang berubah ke Arjuna. Arjuna masih tetap sama. Dia tetap senyum kalau yakin nggak ada yang melihat, kecuali aku. Arjuna tetap memberikan coklat seharga seribuan. Sesekali ada peningkatan sedikit, dia sudah membelikanku wafer keju dua biji. Hargaku naik jadi dua ribu rupiah, deh.
Arjuna juga tetap memasang tampang garang kalau melihat aku dekat cowok lain, apalagi kalau aku bersama Teguh. Dia nggak ngomong apa pun. Arjuna cuma berdiri sambil memasang muka super sadis ke arah Teguh.
Teguh sampai merinding mendapatkan tatapan dari Arjuna. Aku juga nggak paham kenapa Arjuna bersikap konyol seperti itu. Dia selalu bersikap seenaknya.
Nah, yang berbeda itu aku. Aku selalu berusaha menghindari Arjuna. Aku merasa kecewa pada Arjuna. Aku sudah mengingatkan dia nggak kasar. Tapi, dia tetap bikin Irwan babak belur. Oke, Irwan emang ngeselin, tapi, kan, nggak harus menggunakan kekerasan juga untuk menyadarkannya. Dia bisa bicara baik-baik. Apa dia mau sok jagoan, ya? Arjuna berhasil kalau begitu. Tapi, aku nggak suka.
Kondisi Irwan sudah sembuh sekarang. Dia hampir seminggu di rumah sakit. Badan dan muka Irwan hancur parah. Mukanya nyaris nggak dikenali. Hidungnya patah. Pokoknya, dari kepala sampai kaki nggak ada yang luput dari luka.
Aku jadi semakin kesal dengan ulah Arjuna yang sudah membuat Irwan begitu. Sekuat apa coba tenaga Arjuna? Iya, sih, Irwan badannya jauh lebih kecil. Tapi masa Irwan nggak melawan sama sekali?
Waktu Irwan sudah masuk sekolah lagi, dia langsung minta maaf padaku. Dia berjanji nggak akan mengulangi perbuatannya lagi. Sampai sekarang, aku belum meliat dia kasar lagi. Dia jadi lebih pendiam dan lebih ati-ati kalau bicara, terutama saat ada Arjuna. Irwan mendadak jadi patung saat Arjuna di dekatnya. Aku sampai yakin dia nggak bernapas juga kalau ada Arjuna.
"Cha, lo yakin nggak apa-apa?" tanya Lena khawatir. Dia meletakkan jagung bakar yang baru setengah dimakan di piring yang ada di meja.
Kepalaku jadi bertambah pusing sekarang. Aku sudah nggak mampu fokus. Jagung bakarku aja sampai gosong. Aku juga sudah nggak minat makan. Tadi, aku makan jagung bakar segigit aja sudah mual banget. Untung aja aku nggak sampai muntah.
"Nggak apa-apa kok, Len. Santai aja," jawabku sambil tersenyum, berharap Lena nggak perlu khawatir. Sebenarnya, aku sudah ngeri. Kalau Lena yang biasanya cuek sudah panik, itu artinya dia melihat aku sudah nggak baik-baik saja. Aku sudah nggak bisa menutupi sakit sekarang.
"Muka lo udah pucet banget mirip mayat hidup. Pulang sekarang aja, yuk? Gue ngeri lo pingsan di sini, deh." Lena mengajak pulang.
"Baru jam sembilan, Len. Masih sore. Itu anak-anak juga udah beli kembang api. Gue pengin liat juga," tolakku. Tapi, aku bener-benar pengin melihat kembang api, kok. Pergantian tahun baru tanpa melihat pertunjukan kembang api itu hampa banget. Aku harus melihat kembang api yang meledak cantik malam ini.
"Tapi, beneran lo masih kuat?"
Aku mengangguk pelan. Badanku kenapa jadi lemas gini, sih?
"Bentar, gue ambilin teh anget, deh. Lo duduk di sini aja. Jangan kabur!" perintah Lena, lalu pergi masuk ke dalam rumah Niken.
Aku duduk di kursi yang ada di teras rumah Niken. Aku menyenderkan kepala ke tembok. Duh! Posisinya nggak nyaman. Yang ada, kepalaku jadi semakin sakit. Aku melihat ke dalam rumah Niken. Di ruang tamu ada sofa yang terlihat empuk. Pasti lebih nyaman kalau aku tiduran di sana.
Aku berdiri. Saat melangkahkan kaki, aku kehilangan keseimbangan. Aku merasa badanku jatuh ke depan.
"Ocha!"
Aku mendengar ada yang berteriak memanggil namaku dengan panik. Aku merasa ada yang lari mendekat ke arahku. Tapi, aku terlalu lemas. Aku nggak bisa menggerakkan badan sama sekali. Lalu, tiba-tiba semuanya gelap.
Bersambung
Hayo lho kenapa nih si mungil satu ini sampe pingsan?
Ah iya, ikut berduka buat pesawat Lion Air yang jatuh.
Semoga masih ada keajaiban buat semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
With(out) You
Teen FictionArjuna Purusa. Lelaki yang hadir dan mengubah hidupku. Semua yang dilakukannya selalu melibatkan aku. Tapi, setelah sepuluh tahun lebih kebersamaan kami, bisakah aku mengikhlaskan kepergiannya? ~ Rosaline Sabatini