2 Mei 2007

113 16 2
                                    

"Lo mau rasa permen karet kayak biasanya, Cha?" tanya Teguh sambil menuangkan pop ice cokelat pesanan Lena.

"Iya, dong. Ntar gue yang ngasih toping sendiri, ya," sahutku sambil mengedipkan mata kiri. Aku berdiri di samping Teguh sambil mengambil choco chips dan memakannya.

"Bangkrut gue kalau semua yang beli kaya lo gini. Keju sama coklatnya ngambil banyak banget," protes Teguh sambil memberikan segelas pop ice ke Lena yang sudah duduk di bangku panjang samping gerobak.

"Nyenengin temen sendiri. Jangan pelit-pelitlah jadi orang. Ntar kuburan lo sempit, lho," balasku, lalu bergeser ke kanan mendekati Teguh dan merangkul pundaknya.

"Nggak apa kuburan sempit. Bisa anget ntar kalau di dalem tanah," sungut Teguh sambil menyobek bungkus pop ice rasa permen karet.

Sebelum aku sempat membalas omelan Teguh, Lena sudah lebih dahulu berbicara. "Cha, dicariin Arjuna, tuh!" katanya sambil menunjuk seberang jalan.

Aku mengikuti arah yang Lena tunjuk. Di seberang gerobak milik Teguh, Arjuna berdiri sendirian. Mukanya terlihat tegang banget dengan mata yang menatap tajam ke arahku. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana olahraga.

Elah, kenapa lagi ini bocah?

Kalau belum mengenal Arjuna, aku yakin akan takut melihat ekspresinya saat ini. Tapi, Arjuna yang aku kenal nggak akan pernah marah padaku. Aku cubit sekeras apa pun juga, dia tetap aja masih bisa senyum untukku.

Aku mencoba nggak peduli dengan sikap Arjuna. "Arjuna," panggilku setengah berteriak. Nggak lupa, aku kasih senyum terbaik.

Tapi, dengan kurang ajarnya, Arjuna pergi begitu aja. Dia sama sekali nggak menjawab panggilanku, padahal jelas-jelas sejak tadi memandangku.

"Lo tau dukun santet yang murah nggak? Gue pengin nyantet orang, deh," tanyaku ke Lena.

Lena tertawa terbahak-bahak. Badannya sampai membungkuk. Matanya pun mulai berair. 

Menyebalkan!

"Laki lo kenapa, tuh?" tanya Lena setelah tawanya mulai reda.

Teguh memandangku dengan mulut terbuka. "Oh, jadi itu cowoknya Ocha? Anjir garang banget, sih?"

"Ralat, bukan cowok gue!" protesku.

Lena menggeleng. "Belum. Bentar lagi juga jadian. Kita tunggu traktirannya aja, Guh," kata Lena mengoreksi.

Aku malas menanggapi. "Pop ice gue udah?" tanyaku pada Teguh.

Teguh pun memberikan pop ice yang belum ada topingnya. Segera aku memberikan keju dan susu kental manis coklat yang banyak. Setelah selesai, aku dan Lena pamit melanjutkan perjalanan kembali ke sekolah. Sudah nggak ada lagi temen sekelas kami yang lewat. Waktunya kembali ke sekolah, sebelum Bu Win sadar kalau kami hilang.

Sampai di lapangan basket, aku mencari Arjuna. Aku pengin protes tas tindakan nggak menyenangkan yang Arjuna lakukan tadi. Aku nggak bisa menerima dia mengabaikanku dengan mudahnya. Sia-sia aku senyum manis tadi. Sayangnya, Arjuna nggak terlihat di lapangan. Pasti dia sudah menyelinap kabur ke kantin atau bersembunyi di aula untuk tidur.

"Juna mana, Za?" tanyaku ke Mirza.

Mirza yang sedang duduk berdua dengan Niken pun memasang tampang galak. Oke, aku emang sengaja. Nggak baik kalau mereka berduaan di pinggir lapangan. Selain bahaya terkena bola, mereka bisa diganggu setan. Aku tersenyum licik.

"Kagak tau gue. Tadi masuk mukanya kusut banget. Terus, kabur ke mana tau," jawab Mirza ketus.

"Kok, nggak lo temenin sih?" tanyaku dengan muka setenang mungkin. Sengaja aku mengajak Mirza berbicara lebih lama agar nggak merayu Niken terus.

With(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang