6 Januari 2007

71 14 2
                                    

Pagi ini badanku sudah terasa segar banget. Aku nggak pusing lagi. Sekarang, aku jadi pengin main, deh. Ini juga malam Minggu. Harusnya, hari ini asyik banget buat pacaran. Tapi, aku pacaran sama siapa?

Dasar jomlo!

"OCHA. Udah ditungguin Arjuna, nih," panggil Mama memutus lamunanku.

Aku menghela napas berat. Aku akhirnya tahu sifat menjengkelkan Arjuna. Dia keras kepala.

Arjuna masih memaksa antar jemput aku, padahal aku sudah jelas nolak. Sampai aku membentak-bentak juga lho kemarin. Eh, tetap saja dia muncul di sini pagi-pagi gini.

Lagi pula, ya, Arjuna pagi banget, sih, jemputnya? Ini masih jam 6.15, lho. Aku baru kelar mandi. Ini baru berniat memakai seragam sekolah. Pantes saja selama ini kalau aku berangkat, dia sudah enak tidur di kelas.

"Bentar. Ocha pakai seragam dulu," sahutku. Aku pun menggunakan seragam putih abu-abu. Rambut panjangku, aku sisir dan ikat kucir kuda seperti biasanya. Aku lalu mengambil tas ransel dan keluar kamar.

Kali ini Arjuna nggak ikut sarapan. Tapi, dia masih ikut duduk di meja makan. Mama sudah membuatkan teh manis hangat untuk Arjuna.

Ah, elah, si Mama segala membuatkan minum, sih. Dia cuma jemput aku doang ini. Enak banget Arjuna dapat perlakuan spesial dari Mama!

Selesai sarapan, aku dan Arjuna langsung pamit berangkat ke sekolah. Hari ini Arjuna masih membawa mobilnya, padahal dia tahu banget aku nggak suka. Bukan aku nggak suka sama mobil dia, cuma rasanya boros banget kalau harus naik mobil. Arjuna sok tajir banget, deh.

Eh, tapi Arjuna emang tajir sih kalau aku bilang. papanya itu, kan, pengacara, terkenal pula. Wajahnya aja sering muncul di TV. Kliennya banyak dari kalangan pejabat. Tapi, kalau dari penampilan dan kelakuan Arjuna selama yang aku tahu, dia nggak pernah terlihat sombong dengan sengaja pamer kekayaan papanya, deh. Lihat saja mobilnya!Aku yakin dia bisa beli mobil lebih mahal dari Honda Civic ini.

"Lo masih sakit?" tanya Arjuna saat mobil mulai menjauh dari rumahku.

Aku memandang wajahnya. "Lo kenapa bawa mobil mulu, sih? Kan, gue udah bilang nggak usah jemput pakai mobil lagi," omelku nggak peduli dengan pertanyaannya tadi.

"Gue cuma nggak mau lo sakit lagi. Gue nggak suka lo sakit. Gue nggak suka liat wajah lo pucet. Gue nggak suka liat lo lemah nggak berdaya di ranjang rumah sakit lagi," sahut Arjuna tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan yang ramai dengan kendaraan.

Walaupun Arjuna nggak melihat ke arahku, tapi aku yakin banget kalau dia sedang serius. Dari nada suaranya aja terbaca, tegas dan nggak ragu-ragu. Sikapnya malah membuat aku merinding.

Kenapa lagi, deh, ini cowok satu? Dia suka banget membuat aku bingung emang, ya!

Jantungku ini kenapa jadi sering banget detaknya semakin cepat dan nggak beraturan gini, sih?

Selanjutnya, selama perjalan singkat kami ke sekolah, aku memilih diam. Aku malas aja ngomong sama makhluk bernama Arjuna Purusa ini.

Sesampainya di sekolah, Arjuna masih memperlakukan aku layaknya orang dengan penyakit kronis. Dia segera membukakan pintu untukku begitu mobilnya berhenti. Dia juga masih merampas tas ranselku untuk dibawakan sampai ke singgasanaku. Jadilah aku berjalan ke kelas cuma membawa nyawa doang. Sementara Arjuna berjalan di belakangku.

Bodo amatlah sama mata-mata penasaran yang melihat Arjuna! Dia sendiri yang memaksa membawakan tasku yang bahkan hari ini cuma berisi dompet dan pulpen dua biji doang.

Sampai di kelas, jelas teman-temanku langsung memandangku dengan mata yang masih penasaran. Dari kemarin emang aku nggak mau bahas apa pun tentang aku dan Arjuna. Nggak ada yang spesial juga dari kami, kan? Kami berdua cuma berangkat dan pulang bareng. Oke, selain Arjuna yang selalu membawakan tasku, nggak ada yang aneh lagi.

With(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang