7 Desember 2006

83 19 0
                                    

Aku duduk di depan kelas, di samping Maya. Semantara Maya duduk di antara aku dan  Lena. Belakangan ini Maya emang sering ikut nongkrong bersama aku dan Lena. Tapi, dia nggak pernah ikut kami membolos. 

Maya anak baik-baik yang nggak mau terlibat aksi bolos kami. Maya ini tipe cewek manja. Dia sering merengek minta sesuatu dan kalau nggak dituruti langsung ngambek. Aku sering gemas dengan sikap kekanakan Maya dan pengin melempar lemari ke arahnya. Sayang, aku nggak kuat mengangkat lemari karena beratnya jauh lebih besar dari tubuhku.

"Lo lagi deket sama Irwan ya, May?" tanya Lena sambil makan wafer keju.

"Ha? Irwan? Irwan temen sekelas kita? Atau ada nama Irwan lain yang deket sama lo?" Aku nggak percaya dengan pertanyaan Lena.

Maya senyum malu-malu. "Iya, Irwan yang itu," jawabnya. Wajahnya merah.

"Seriusan lo? Tapi, nggak jadian, kan?" Aku masih berharap Maya membantah kedekatannya dengan Irwan.

"Belum, kok. Baru pedekate doang," jawab Maya nggak peduli aku sudah syok begini.

Bukan aku nggak suka mereka dekat atau malah jadian, aku nggak iri sama sekali, kok. Aku ini jomlo terhormat yang nggak pernah iri sama hubungan orang lain. Tapi, Irwan ini tipe cowok yang tempramental nggak pandang bulu. Kalau dia marah, sering banget main kasar, termasuk kasar ke cewek.

Irwan pernah marah ke Junia dan sikapnya keterlaluan banget. Aku nggak tahu pasti apa penyebabnya. Katanya, soal Junia cerewet gitulah. Semua orang juga tahu kalau Junia memang lumayan berisik. Irwan pun harusnya paham. Tapi, sikap Irwan ke Junia nggak bisa dibenarkan.

Tiba-tiba aja, Irwan melempar helm ke arah Junia dengan kencang banget. Helm itu sampai terbelah jadi dua. Untung, helmnya nggak mengenai Junia. Hampir kena, tapi Junia masih sempat menghindar. Seram, kan?

"Pikir ulang, deh, kalau mau jadian sama cowok model gitu. Gue ngeri lo lecet ntar," katamemberikan saran. Walau selalu gemas dengan tingkah Maya yang mirip balita, tetap aja aku nggak mau ada yang menyakitinya. Nggak ada alasan siapa pun bisa melukai perempuan yang kekanak-kanakan.

"Makasih, ya, Cha. Lo tuh emang baik banget. Lo perhatian banget sama gue. Gue salah nilai lo. Dulu, gue sempet takut sama lo. Gue kira lo cewek urakan yang kasar karena duduk dikelilingi cowok. Lo juga suka nongkrong sama cowok, bahkan sama Arjuna juga lo berani ngomel. Asli gue takut deket sama lo. Tapi, ternyata gue salah," kata Maya jujur.

"Badan gue sama badan lo, gedean badan lo kali, May. Masa lo takut sama gue? Lagian gue duduk dikelilingi Yakuza begitu juga terpaksa. Dulu cuma bangku itu doang yang kosong, bukan gue milih dari awal. Tuh, Lena yang khianatin gue, tuh. Sedih gue jadinya," sahutku dengan sengaja memasang muka galak ke Lena. Aku nggak tersinggung dengan kata-kata Maya. Wajar cewek kayak Maya takut padaku. Duniaku keras, Bung.

"Kenapa jadi gue, deh?" tanya Lena pura-pura nggak paham.

Maya tertawa. Aku dan Lena jadi ikut tertawa. Kami tertawa bersama tanpa peduli orang-orang melihat kami aneh.

"Kalian ngetawain apaan? Seru banget, nih," tanya Irwan yang tiba-tiba sudah berdiri di depan kami bertiga.

Irwan senyum-senyum aneh sambil memandang Maya. Konyolnya, Maya jadi salah tingkah. Dia ikut senyum malu-malu. Mukanya sampai merah.

Aku heran banget! Pesona apa yang Maya liat dari Irwan, sih?

Bukan aku mau menghina, ya. Dari fisik, Irwan itu nggak ada gantengnya sama sekali. Untuk ukuran cowok, dia termasuk pendek. Tinggi badannya setara dengan Maya, mungkin selisih dua sampai lima sentimeter denganku. Aku yakin, tingginya nggak lebih dari 160 sentimeter. Kulitnya hitam banget. Mukanya selalu menampilkan kesombongan yang menyebalkan. Dia juga mudah banget marah. Irwan bukan berasal dari keluarga berdompet tebal. Nilai pelajarannya pun nggak layak dibanggakan. Jadi, nggak ada alasan Maya bisa jatuh cinta dengan Irwan.

With(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang