Harusnya aku tahu ada yang salah dengan Arjuna. Harusnya aku tahu kalau dia sedang nggak baik-baik saja. Harusnya aku tahu kalau dia sedang punya masalah. Harusnya aku tahu kalau Arjuna memang selalu menjadikanku prioritas dan selalu menuruti apa pun kemauanku.
Aku benar-benar merasa bersalah. Kalau aku nggak egois, nggak akan terjadi hal ini. Dia pasti masih berisik membangunkanku Subuh-subuh. Dia bisa ngobrol pertandingan bola sama Papa. Dia pasti bisa bantu Mama mencabut rumput liar yang sudah mulai tumbuh di halaman depan. Dia pasti bisa mengajak Putri membeli boneka. Dia bisa mengantar jemput aku sekolah dan ke mana pun aku mau. Dia bisa membuat takut anak-anak lain yang mau gangguku. Dia bisa menjagaku dari preman yang berusaha memalakku. Dia bisa membelikan aku ice cream, burger, ayam goreng, mie ayam, dan makanan apa pun yang kusuka.
Tapi sekarang, Arjuna nggak bisa melakukan itu lagi, demi aku sekalipun. Walaupun aku merengek, dia nggak akan bisa memenuhi permintaanku.
Ini semua karena aku egois. Aku nggak tahu diri. Aku selalu memaksakan kehendak, seenak jidat. Aku nggak pernah memperhatikan Arjuna. Dia sakit pun, aku nggak tau.
Aku emang jahat banget!
Tubuh Arjuna terbaring di tempat tidur berselimut kain putih. Irul, Angga, Reza, dan Topik duduk di samping kiri Arjuna. Mereka bersama-sama membacakan surah Yasin. Mirza yang berdiri di samping pintu masuk hanya sanggup menutup wajahnya dengan badan bergetar. Lena hanya diam sambil memelukku.
Aku nggak peduli dengan mereka. Aku hanya fokus ke Arjuna yang memejamkan mata.
"KAMPRET KALIAN! DOAIN GUE MATI?" maki Arjuna yang tiba-tiba bangun. Sebelum dia berhasil duduk, Irul, Angga, Reza, dan Topik kabur keluar kamar.
Mirza memindahkan tangan dari wajah ke perut. Dia akhirnya bisa tertawa dengan suara keras setelah menahan suara bermenit-menit.
"Ngapain lo ketawa? Lo juga doain gue mati?" Arjuna semakin murka melihat ulah Mirza.
"Gue udah bilang jangan ke mereka. Tapi, mereka tetep aja ngotot. Katanya, biar setan yang ada di dalam badan lo pergi," kata Mirza setelah berhasil meredakan tawa.
Arjuna memaki pelan, lalu mengalihkan pandangan ke aku yang duduk di sofa, di sisi kanan tempat tidurnya.
Lena sudah melepaskan pelukannya. Dia ikut tertawa bersama Mirza sampai perutnya sakit.
"Urusan kita belum selesai," kata Arjuna sambil melotot ke Mirza. "Bilang itu ke para biji terong tadi juga." Arjuna mengedipkan mata tiga kali.
Mirza menganggukkan kepalanya. "Len, temenin beli makanan. Laper gue. Di depan ada siomay kayanya, deh."
"Lo mau nitip apa?" Lena merogoh tas ranselnya dan mengambil dompet biru muda.
"Nggak usah deh," jawabku. Aku masih malas makan. Rasa bersalahku jauh lebih besar saat ini.
Aku mendekati tempat tidur Arjuna. Wajahnya yang biasanya terlihat seram, sekarang pucat. Badan besarnya lemas. Tapi, dia masih tersenyum padaku.
"Lo nggak apa-apa?" Pertanyaan bodoh meluncur dari mulutku.
Gimana mungkin dia nggak apa-apa kalau dari semalem tidur di rumah sakit? Aku mengutuk diri sendiri menjadi semakin cantik.
"Nggak apa, kok," jawab Arjuna lemah.
"Maafin gue, Juna," kataku pelan. Aku menundukkan kepala, merasa sangat bersalah.
Arjuna meraih tanganku dan menggenggamnya dengan tenaganya yang masih lemah. Tangannya terasa panas.
"Gue udah sering bilang, kan, lo jangan nangis. Jelek," kata Arjuna pelan.
Aku segera menyeka air mata yang nyaris jatuh. Bibirku manyun. Aku berusaha melotot. "Lo sakit begini aja masih bisa ngeselin, ya! Gue udah nangis semaleman gara-gara lo. Gue benci lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
With(out) You
Teen FictionArjuna Purusa. Lelaki yang hadir dan mengubah hidupku. Semua yang dilakukannya selalu melibatkan aku. Tapi, setelah sepuluh tahun lebih kebersamaan kami, bisakah aku mengikhlaskan kepergiannya? ~ Rosaline Sabatini