3 April 2007

102 16 2
                                    

Hari ini aku merasa males banget berangkat ke sekolah. Bukan karena banyak PR, semua PR untuk hari ini sudah aku selesaikan dengan sempurna, tanpa ada yang terlewat satu pun. Satu-satunya alasan aku malas sekolah itu cuma Arjuna.

Arjuna sama sekali nggak mau kasih tahu ada masalah apa sama Ferry kemarin. Saat aku singgung tentang berantem karena cewek pun, dia cuma senyum-senyum sok ganteng doang. Aku jadi pengin memberikan racun tikus ke Arjuna.

Masalah janji-janjian yang dia tanyakan pun nggak ada penjelasan lebih lanjut. Aku bertanya yang berbau janji-janjian, eh, dia malah mengajak ngobrol soal macetlah, banjirlah, sinetronlah, sampai politik.

Ya, mana aku mengerti soal politik? Aku jadi males banget ngomong sama Arjuna. Lebih baik, aku ngomong sama tangan, sama-sama nggak dapat respons.

"Kak, udah ditungguin pangeran berkuda ijo, tuh." Putri tiba-tiba nongol di kamarku. Dia sudah rapi dengan seragam putih merahnya. Rambut kritingnya diikat ekor kuda.

"Aih, kaget gue. Gue kirain ada tuyul. Untung belum sempet gue pukul," omelku yang kaget dengan kehadirannya.

Putri meringis, menunjukkan deretan gigi putihnya.

"Suruh tunggu dulu. Kakak belum kelar," tambahku sambil menyisir rambut.

Nggak lama, aku keluar ke ruang makan. Di meja makan cuma ada Papa dan Putri doang. Aku mencari Mama dan Arjuna. Ternyata, mereka berdua sedang mengobrol dengan berbisik di ruang tamu. Wajah Mama serius banget. Aku jadi penasaran mereka sedang membahas apa sampai serius begitu.

"Lagi ngomongin apaan?" tanyaku mendekat ke arah Mama sambil tersenyum lebar.

Mama kaget. Buru-buru Mama melihat ke arahku, lalu tersenyum. Tapi, senyumnya terlihat kaku banget. Senyum yang dipaksakan banget. Sedangkan Arjuna tetap terlihat santai. Dia juga senyum padaku. Kalau Arjuna, senyumnya lebih natural. Dia bisa banget akting, seolah nggak ada masalah. Tapi, nggak mungkin dia bersikap serius ke Mama tanpa ada masalah apa pun.

"Udah sarapan belum? Sarapan dulu baru berangkat, ya. Juna juga sarapan dulu ayo," perintah Mama mengalihkan perhatian.

"Juna udah sarapan, kok, tadi di rumah, Ma," jawab Arjuna menolak ajakan sarapan dari Mama.

Apa cuma aku yang geli kalau mendengar interaksi Mama dan Arjuna? Sok imut banget nggak, sih, Mama menyebut nama segala? Mama juga kalau ada Arjuna sudah lupa sama anak sendiri. Segalanya untuk Arjuna. Arjuna yang terbaik.

Selesai sarapan, aku dan Arjuna pamit berangkat ke sekolah.

"Ma, Ocha berangkat dulu," pamitku, lalu mencium kedua pipi dan tangan kanan Mama.

"Juna juga pamit, Ma," kata Arjuna, lalu mencium tangan kanan Mama.

Aku memutar kedua bola mata karena geli mendengarnya.

Sebelum melepas genggaman tangannya, Mama dan Arjuna kembali berbisik-bisik. Aku sama sekali nggak bisa mendengar mereka berdua mengobrol apa.

"Kalian berdua ini lagi main rahasia-rahasiaan, ya? Ocha nggak boleh tau?" tanyaku sebal. Aku melipat kedua tangan di depan dada. Mataku menyipit, memandang penuh curiga dan memasang tampang jutek.

"Eh, ya, udah sana berangkat. Keburu telat," usir Mama, nggak peduli mukaku sudah sadis banget gini.

"Ah, ngalihin pembicaraan," protesku.

Arjuna menggenggam tanganku dan menarik aku ke mobil. "Assalamu'alaikum, Ma. Kita berangkat," pamit Arjuna lagi sambil melambaikan tangannya yang bebas.

Mama membalas lambaian tangan Arjuna sambil tersenyum.

Aku yang kesal banget terpaksa menurut. Sudah waktunya kami berangkat sekolah. Aku nggak mau terlambat.

With(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang