Akhirnya, hari Rabu lagi. Pelajaran olahraga lagi. Sudah lama aku nggak nongkrong di tempat Teguh. Hampir sebulan ini, pemanasan nggak sampai lari ke luar sekolah. Kami cuma streching sama strechmark di lapangan. Bisa mengamuk nanti itu manusia rambutan kalau aku terlalu lama nggak mampir ke lapaknya.
"Hari ini olahraga bebas karena saya ada rapat guru di Diknas. Kalian lari ke luar satu kali, terus terserah mau main apa aja. Yang penting, jangan ganggu kelas lain! Dayat nanti ambil bola basket sama bola kaki di ruang peralatan. Kalo sudah selesai, balikin ke tempatnya lagi," kata Bu Win memberikan pengarahan panjang lebar. Berbeda dengan biasanya, hari ini Bu Win rapi menggunakan kemeja batik dan rok hitam.
"Siap Bu," sahut Dayat, lalu meminta anak-anak berlari ke luar sekolahan.
Tanpa diminta dua kali, gerombolan kelasku langsung bubar ke luar. Seperti biasa, aku dan Lena semangat berlari. Kami berdua berlari nggak terlalu cepat. Kami agak santai karena gurunya nggak ada. Jadi, kami bisa lebih bebas nongkrong di tempat Teguh nanti.
Duh! Itu pop ice permen karet dengan banyak keju dan coklat sudah terbayang di otakku. Segar banget, deh, pasti!
Di depanku, Arjuna dan Mirza berjalan santai mengikuti gerombolan berseragam olahraga. Kaki Arjuna belum sepenuhnya sembuh. Kalau jalan, dia masih pincang. Tapi, Arjuna sudah nggak memakai bantuan tongkat lagi. Luka lecet di muka dan tangannya juga mulai kering. Tapi, beberapa luka masih ditutup plester. Sebagai sahabat yang baik, Mirza selalu menemani Arjuna. Mereka berjalan sambil mengobrol. Jarakku semakin dekat ke arah mereka. Obrolan mereka pun jadi nggak sengaja terdengar.
"Gila, Bro! Si Niken susah banget diajakin jalan. Gue udah ngabisin pulsa ratusan ribu buat ngajakin jalan doang, tapi nggak ada yang kena. Pasti ada aja alasannya," keluh Mirza kepada Arjuna yang terdengar putus asa banget.
"Cewek begitu aja lo kejar terus. Ganti udah! Kaya nggak laku aja lo," komentar Arjuna dengan tangan kanan berada di saku celana olahraganya.
"Lo nggak pernah ngerasain cinta mati, sih. Gue rela mati, deh, biar bisa jalan sama Niken doang," omel Mirza yang frustrasi.
"Anjir ngomongin mati. Kaki kena paku aja teriak-teriak sambil nangis, kok," ejek Arjuna.
"Beda cerita, Bro. Kaki kena paku itu sakit. Tapi, cinta tak bersambut itu jauh lebih sakit." Mirza nggak mau kalah. "Gue sumpahin lo ngerasain apa yang gue rasain, baru tau rasa lo!"
"Misi nih, Bapak-bapak. Gue duluan, ya. Kalo mau curhat, bisa di ruang tamu aja. Enak bisa sambil ngopi, deh," sapaku, lalu berlalu mendahului Mirza dan Arjuna.
"Duluan, ya," kata Lena sambil melambaikan tangannya.
"Sialan kalian! Ati-ati ada got, tuh. Kalo nyemplung, bisa makin item lo, Cha," ejek Mirza.
Aku cuma tertawa tanpa menoleh sedikit pun. Nggak ada niat sedikit pun untuk memperpanjang obrolan kami. Pop ice lebih menggoda saat ini.
Sampai di tempat Teguh, dia sedang bersiap-siap berjualan. Gerobaknya barusan sampai dan masih kosong. Aku meliat dia mulai meletakkan rencengan pop ice aneka rasa ke tali rafia yang terpasang di bagian depan gerobaknya.
"Perlu bantuan kagak?" Aku mengambil stoples berisi keju.
"Kampret! Kaget gue," maki Teguh terkejut.
"Biasa aja kalo liat bidadari dateng kali," sahutku sambil tersenyum. Sengaja kupamerkan senyum termanis agar Teguh diabetes melihatku.
"Iyain aja, deh. Bidadari iya," celetuk Teguh sambil tertawa. Tawanya terdengar menyebalkan, lebih ke arah menghina dan meremehkan. Tawanya sukses membuatku sebel, sumpah.
KAMU SEDANG MEMBACA
With(out) You
Teen FictionArjuna Purusa. Lelaki yang hadir dan mengubah hidupku. Semua yang dilakukannya selalu melibatkan aku. Tapi, setelah sepuluh tahun lebih kebersamaan kami, bisakah aku mengikhlaskan kepergiannya? ~ Rosaline Sabatini