22 April 2007

101 16 2
                                    

Seminggu ini aku merasa seperti terlahir kembali. Aku punya energi baru yang membuat hidupku menjadi lebih indah. Kalau punya kekuatan super, aku yakin bisa membuat semua perang di dunia ini berhenti. Kekuatan ini namanya cinta.

Jangan bilang aku gila! Aku masih bisa berpikir jernih, kok. Aku masih sadar kalau apa yang kulakukan ini nggak tepat karena sudah jatuh cinta lagi dengan cowok orang. Tapi, otak dan hatiku mungkin sedang bermusuhan. Kinerja dua organ paling penting ini nggak sinkron sama sekali. Otakku terus memintaku berhenti sampai di sini, tapi hatiku menuntut lebih. Aku nggak bisa melepaskan Mas Aji lagi.

Aku terlalu bahagia karena Mas Aji selalu merespons semua SMS yang aku kirim. Walaupun hanya sekedar SMS basa-basi yang berisi semangat untuk menjalani hari ini, rasanya lebih menyenangkan dari mendapat SMS hadiah ratusan juta. Seremeh itu emang bahagiaku sekarang.

Tahu yang lebih parah dari hanya sekedar berbalas SMS dengan kekasih orang? Jalan berdua dengan kekasih orang. Ya, aku melakukan itu sekarang.

Mas Aji berdiri di sampingku. Jarak kami hanya sejengkal. Aku bisa mencium aroma tubuhnya dengan jelas. Aku nggak tahu aroma apa ini. Tapi, yang jelas baunya segar dan terasa cowok maskulin banget. Aku suka.

Selain wangi, hari ini entah kenapa Mas Aji terlihat ganteng banget. Jumper hitamnya dibiarkan terbuka menunjukkan kaus putih yang membungkus tubuh kurusnya. Kakinya yang panjang ditutup dengan celana jins hitam. Rambutnya terlihat lebih panjang dari terakhir aku melihat, dengan poni miring nyaris menutupi mata. Nggak nggak, gaya rambut Mas Aji nggak senorak Andika kangen band. Potongan rambutnya lebih pendek dan lebih manusiawi. Pokoknya, Mas Aji ganteng. Banget!

"Kok, ngelamun, sih, Cha?" tanya Mas Aji sambil memandangku.

Aduh, Mas! Jangan melihat aku begitu, dong! Mas Aji nggak tahu apa ini kakiku sudah lemas, mirip agar-agar kebanyakan air?

"Nggak, kok. Cuma mikir aja. Kenapa burung bisa terbang?" sahutku.

Panggil aku gila sekarang! Aku nggak tahu apa yang ada di otakku sampai mengucapkan pertanyaan bodoh macam itu. Ya, kali aku sedang berdua dengan cowok ganteng, tapi memikirkan burung. Kenapa aku nggak memikirkan juga kenapa ikan nggak bisa bermain basket?

Mas Aji tertawa. Aku cuma menatap dia dengan malu luar biasa. Kubur aku hidup-hidup aja, dong! Aku pengin menghilang aja gitu sekarang.

"Lo nggak berubah, ya, Cha. Selalu lucu. Mas suka," kata Mas Aji setelah tawanya reda. Sekarang dia tersenyum dengan indahnya.

Sori, nih. Telingaku nggak bermasalah, kan? Tadi Mas Aji bilang kalau aku lucu, kan? Mas Aji juga bilang suka aku, kan? Iya, kan? Mas Aji suka sama aku? Ini nggak salah, kan?

"Eh, kok, bengong lagi, sih?" tanya Mas Aji sambil melambaikan tangannya di depan wajahku.

"Eh, i-iya. Gu-gue haus. Beli minum dulu bentar," jawabku tergagap. Aku bingung harus menjawab apa lagi. Yang jelas, aku perlu menjauh sebentar. Terlalu lama berdua dengan Mas Aji bisa melumpuhkan otakku.

"Kalau gitu, Mas juga. Kita beli bareng, ya," ajaknya, lalu berjalan mendahuluiku.

Aku cuma mengekor di belakangnya. Harusnya, kami sedikit menjaga jarak demi kebaikan jantungku. Tapi, Mas Aji seolah nggak membiarkanku tenang sebentar aja.

Mas Aji berhenti di penjual es campur. Dia memesan dua es campur, lalu duduk di bangku kosong terdekat. Aku mengikuti duduk di depan Mas Aji.

Aku memandang sekeliling. Taman kota sore ini lumayan ramai. Banyak keluarga yang menghabiskan Minggu sore di sini. Anak-anak asyik bermain sepeda, sedangkan orang tuanya memperhatikan di pinggir taman. Ada beberapa pasangan juga yang kencan di sini. Ya, seperti aku dan Mas Aji begini. Kami boleh dibilang sedang kencan juga nggak, sih?

With(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang