12 Oktober 2006

81 20 0
                                    

Saat masuk ke kelas, ternyata teman-temanku rajin semua. Baru jam setengah tujuh, mereka sudah datang. Aku langsung menuju singgasanaku. Aku melihat bangku Arjuna. Meja itu kosong. Biasanya, dia sudah datang lebih dulu daripada aku.

"Lo ngerjain apaan, sih?" tanyaku ke Angga yang sibuk menulis sesuatu di buku.

"Tugas bahasa Inggris. Lo udah?" jawab Angga tanpa mengalihkan pandangannya.

"Tugas apaan?" tanyaku bingung.

"Ini liat sendiri, sih. Jangan berisik. Gue sibuk!" omel Angga sambil terus menulis.

Aku melihat apa yang Angga tulis. Nggak cuma Anggak, ada tiga orang lagi ikut melakukan hal yang sama seperti Angga. Meja Angga jadi sesak.

"Mampus! Gue lupa." Aku buru-buru mengambil buku tugas bahasa Inggris, lalu menarik kursiku agar lebih dekat ke bangku Angga. Aku ikut menyontek PR entah milik siapa itu.

Hari ini, mata pelajaran bahasa Inggris menjadi mata pelajaran pertama. Tapi, aku lupa mengerjakan PR, yang ternyata banyak banget ini.

Guru Bahasa Ibggrisku sadis. Kalau ada murid yang nggak mengerjajan PR, beliau mengusirnya dari kelas. Kalau diusir dari kelas, ada risiko nilai raport akan merah.

Aduh! Aku sudah cukup bodoh di pelajaran ini. Kalau sampai diusir, bisa ancur nilaiku. Yang parah, aku bisa nggak naik kelas nanti.

Bel tanda jam pelajaran dimulai berbunyi. Beruntung aku masih sempat menyelesaikan tugas. Aku nggak peduli jawabannya benar atau salah, yang penting dijawab dulu.

Aku menarik bangku kembali ke tempat asalnya. Saat melihat ke belakang, bangku itu masih kosong. Nggak ada Arjuna atau barang-barangnya di sana.

Tumben dia bolos? Oke, dia emang sering bolos. Di pagi hari aku pasti masih melihat penampakannya walaupun nanti saat bel masuk berbunyi dia lenyap tak berbekas.

Aku mencolek punggung Mirza yang sibuk mengobrol dengan Niken. "Arjuna ke mana?" tanyaku saat Mirza menoleh dengan muka galak.

"Nggak masuk," jawabnya singkat, lalu berbalik menghadap Niken lagi.

Aku mencolek lagi punggungnya. "Kenapa nggak masuk?" tanyaku lagi saat Mirza berbalik. Wajahnya tetep jutek.

"Sakit," jawab Mirza, lalu kembali mengobrol dengan Niken lagi.

Untuk yang ketiga, aku mencolek lagi punggung Mirza. Tapi, belum sempat bertanya, Mirza sudah mengambil inisiatif lebih dulu.

"Arjuna sakit. Semalem kecelakaan. Badannya bonyok semua. Kakinya nggak bisa jalan. Dia di rumah sekarang," kata Mirza menjawab pertanyaan yang belum sempat gue tanyakan. Matanya melotot lebar. "Cukup, kan?"

Aku meringis. Aku sengaja emang mengganggu Mirza merayu Niken. Lagi pula pagi-pagi dia sudah menggombal aja. Apa dia nggak punya sedikit empati pada jomlo di belakangnya ini?

Eh, bentar. Tadi Mirza bilang Arjuna kecelakaan? Terus, badannya luka-luka semua? Arjuna nggak bisa jalan? Separah itu lukanya?

Bu Yuli masuk kelas. Aku nggak jadi mencolek Mirza lagi. Aku nggak berkutik kalau di kelas Bu Yuli ini karena takut dipanggil, terus harus menyelesaikan soal di papan tulis. Bisa malu aku kalau nggak bisa menjawab.

Untung, pelajaran pagi ini lancar. Bu Yuli nggak berminat berurusan denganku. Aku lega saat pelajaran berakhir.

Mirza berdiri di depan kelas setelah Bu Yuli keluar. "Perhatian. Gue ada pengumuman," kata Mirza dengan lantang. Anak-anak langsung diam memandang ke arah Mirza.

"Arjuna semalem kecelakaan. Kondisinya lumayan parah. Badannya bonyok semua. Kakinya kemungkinan patah, nggak bisa jalan," lanjut Mirza menceritakan tentang Arjuna.

With(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang