19 Juli 2006

121 18 7
                                    

Hari Rabu, jam pertama kelasku pelajaran olahraga. Ini salah satu pelajaran favoritku. Bukan bukan, aku bukan cewek yang jago olahraga. Ya, tapi aku nggak bego-bego banget jugalah. Aku masih bisa bermain basket, kok, dengan tubuh mungilku.

Pelajaran olahraga jadi favoritku karena aku bisa bebas keluyuran tanpa kena hukuman guru, alias bolos yang legal. Selain itu, lapangan olahraga letaknya di sebelah gedung A, gedung yang digunakan untuk kelas XII. Kalau beruntung, aku bisa sekalian mengintip kakak kelas yang ganteng.

Bel tanda masuk berbunyi. Anak-anak kelasku sudah berisik banget. Anak-anak cewek kabur ke toilet untuk mengganti baju. Sementara anak-anak cowok, tanpa punya malu berganti baju di kelas. Aku dan Lena yang sudah memakai seragam olahraga dari rumah mampir ke kantin sebentar. Kami berniat sarapan gorengan dan teh anget sambil membahas gebetan baru Lena.

"Ya, ampun, Cha! Si Didit itu manis banget, deh. Gue bisa diabetes kalo liatin dia mulu." Lena terus ngoceh tentang Didit, anak SMA Permata Bangsa yang dikenalnya gara-gara SMS salah kirim. Iya, SMS salah dikirim oleh Didit. SMS itu isinya bertanya tentang motor. Pada akhirnya, si pengirim mengajak Lena kenalan, lalu mereka janjian ketemuan.

Aku yakin SMS salah kirim itu cuma modusan doang. Didit pasti mendapatkan nomor Lena dari salah satu temennya.

"Ya, nggak usah lo liatin kalo gitu," sahutku males.

Ini masih pagi, tapi Lena terus membahas Didit. Lena terus menyebut Didit yang gantenglah, Didit yang romantislah, Didit yang perhatianlah, Didit yang luculah. Lama-lama, aku juga bisa tahu Didit punya tahi lalat di bagian tubuh mana aja.

"Ih, kok, lo sewot banget, sih, Cha?" tanya Lena nggak suka dengan respons yang kuberikan.

"Lagian lo Didat Didit mulu, sih. Panas kuping gue denger nama dia mulu. Pagi ini aja lo udah nyebutin nama Didit 27 kali kalo lo tau," keluh gue sambil menyeruput teh anget.

Lena tertawa kencang dengan mulut terbuka lebar. "Makanya, jatuh cinta lagi dong! Lo udah bolak-balik gue kenalin cowok, bukannya jadian malah dijadiin musuh semua, sih," ledek Lena di sela tawanya.

"Gimana mau jadian, cowok yang lo kenalin ampas semua. Sebutin mana yang kompeten jadi cowok gue?" Aku nggak berminat mengambil mendoan baru lagi karena kesal dengan komentar Lena.

Dahi Lena berkerut. "Leo? Kan, cakep, tuh!"

"Cakep mah cakep, tapi kayaknya dia dulu pernah jatuh terus kepentok, deh, kepalanya. Masa ngajakin ngedate ke pertunjukan wayang?" Aku menggeleng.

Lena kembali tertawa kencang. "Ya, kan, bisa sekalian melestarikan kebudayaan, sih. Apa salahnya?"

Aku mengibaskan tangan di depan muka Lena. "Udahlah! Nggak ada yang bener cowok yang lo kenalin, deh. Sedih gue."

"Udah, ah! Yuk, ke lapangan!" ajak Lena mengalihkan pembicaraan. Dia merogoh saku celananya.

"Punya gue sekalian, Len. Teh anget sama gorengan 2 biji," kataku sebelum Lena sempat membayar.

"Sialan lo!" makinya. "Teh anget 2, gorengan 3 mas Joko." Lena tetap memberikan selembar uang lima ribu. Itulah Lena. Walaupun bibirnya sering memakiku, tapi permintaanku selalu dia turuti.

"Nih, Neng kembaliannya." Mas Joko memberikan dua lembar seribuan dan satu koin lima ratusan.

Aku bangkit dari duduk, menunggu Lena. Lalu, kami bersama meninggalkan kantin.

"Eh, gue ambil hape dulu di kelas. Lo duluan aja, Len!" kataku yang baru ingat hapeku masih di tas. Bisa bahaya kalau ada yang meninggalkan barang berharga di kelas. Dulu, sempat ada yang kehilangan hape dan duit saat kelas kosong ditinggal olahraga. Sampai sekarang, nggak ada yang tahu siapa malingnya.

With(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang