27

5.8K 761 13
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Suasana di ruangan putih itu tak setenang cat ruangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suasana di ruangan putih itu tak setenang cat ruangannya. Wajah Yeri yang pucat membuat semua gadis di sana khawatir. Lisa telah berkali-kali mengutuk dirinya sendiri karena tak menjemput Yeri saat kejadian sore itu.

"Jika lelaki gila itu tak memancing kita duluan, kita takkan begini," Umpatnya. "Sial, kalau saja aku tak membalas,"

"Sudahlah. Duduklah, Lisa-ya," Perintah Jennie. Suaranya menjadi lebih berwibawa daripada biasanya. Lisa menurut.

"Bagaimana jika Yeri..." Ucapan Joy terputus karena isakan tangisnya.

"Yak! Yeri akan baik-baik saja. Percayalah. Jangan menangis terlalu banyak, fokuslah pada kesembuhan Yeri," Jisoo memberi dua gelas air putih untuk mereka. Joy masih terisak, hidungnya masih sedikit merah.

"Beruntungnya lelaki itu tak mengarahkan pelurunya ke daerah fatal," Kata Wendy. Lisa menoleh.

"Tidak, ini bukan keberuntungan. Dia sengaja. Dia melakukan ini supaya kita
lengah. Ada juga kemungkinan mereka telah menempatkan sesuatu di gedung ini, lalu..." Ucapan Lisa terpotong dengan suara engsel pintu yang berderit.

"Kalian semua walinya?" Tanya seorang pria yang tampak berusia lebih dari 60 tahunan itu. Irene bangkit dari sofa.

"Bagaimana kondisinya, dokter?"

Lelaki itu melirik lagi, "Untuk walinya, ikut aku ke ruangan. Yang lain, jika ia bangun atau terjadi apapun, cepat panggil perawat," Semua gadis di ruangan itu mengangguk. Irene mengikuti sang dokter.

"Lisa-ya, ingin kemana?" Tanya Jisoo saat retinanya menangkap gadis berponi itu telah beranjak ke arah pintu.

"Melakukan sesuatu,"

"Jangan melakukan sesuatu yang berbahaya, mengertilah. Yeri sedang seperti ini," Jennie memperingati. Lisa memutar bola matanya. Sedikit kesal.

"Yah, mungkin," Katanya santai. Ia keluar. Jennie menarik nafas kasar. Sudah biasa dengan sikap Lisa yang keras kepala seperti itu.

Jennie berdiri. "Kalian semua, sudah makan? Aku akan keluar sebentar, kalian perlu karbohidrat,"

 "Kalian semua, sudah makan? Aku akan keluar sebentar, kalian perlu karbohidrat,"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lisa berkeliling mencari benda itu. Ia yakin ada di sana. Keringatnya sudah membasahi punggungnya, menyebabkan warna lebih gelap di kaus hitamnya.

Benda berwarna kuning itu, benda yang sempat membuatnya pingsan beberapa waktu lalu. Benda yang ia sendiri tak pernah sangka akan membawanya kepada pelaku yang membunuh ayah ibunya.

Lisa mengobrak-abrik laci mejanya sekali lagi. Nihil. Hanya ada gunting kuku di sana. Lisa berteriak kesal.

"SIAL!" Katanya. Ia bisa bebas berteriak karena pasti tak ada yang mendengar. Semua orang ada di rumah sakit.

Tiba-tiba ia teringat Rosè. Gadis itu belum diberitahu soal Yeri. Bagaimanapun, mereka harus memberitau apa yang terjadi saat ini. Lisa pernah berjanji pada Rosè, jika terjadi sesuatu harus langsung mengatakan padanya.

Beberapa saat ia terduduk, entah apa yang dilamunkan. Tiba-tiba ia bangkit.

Bodoh, gantungan kunci itu terbawa Rosè.

Lisa memukul kepalanya pelan. Ia mengambil ponselnya. Menelpon seseorang.

"Jennie eonni, aku beritau Rosè?"

"Katakan padanya jangan khawatir,"

"Gantungan kunci itu ada padanya. bagaimanapun aku harus mengambilnya sekarang," Lisa menjelaskan. "Bolehkah aku menyusulnya malam ini?"

"Jangan, besok pagi saja. Ini terlalu larut. Dengarkan aku, jangan membantah,"

Lisa menutup sambungan. Ia tak ingin memberikan beban lebih pada Jennie. Pasti pikirannya sudah sangat bercabang sekarang. Dendam mereka, Peristiwa kaburnya Rosè, Oh Sehun, dan Yeri. Kepalanya sudah mau meledak pastinya.

Sudahlah, kembali ke rumah sakit lebih baik.

Lisa menutup pintu kamarnya. Setelah memastikan semua ruangan di sana aman, ia menutup pintu. Tidak lupa ia mengaktifkan sensor yang ada di sana, untuk berjaga-jaga apabila ada yang membobol masuk-walaupun karena sangat sensitif, terkadang seekor lalat pun menyebabkan keributan besar.

Sebuah suara menghentikan langkahnya.

"HYUNG!" Teriakan Sehun bergema di lorong itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"HYUNG!" Teriakan Sehun bergema di lorong itu. Yang dipanggilnya, Chanyeol hanya melirik sebentar.

"Wae?"

Sehun memukul kepala bagian belakang Chanyeol. "Kau gila? Kau berjanji membantuku. Kemana saja kau tadi hah?!" Marah Sehun. Chanyeol hanya melihatnya dengan wajah tenang.

"Ada urusan penting,"

"Seberapa penting urusanmu?" Sehun sedikit menaikkan nada bicaranya.

"Jaga bicaramu," Hardik Chanyeol. "Mungkin tak penting untukmu, tapi aku bisa gila jika aku tak pergi. Lagipula, aku pergi karena aku yakin kau bisa. Bagaimana? Kau membunuhnya kan?"

Sehun menarik nafasnya, menstabilkan emosinya. "Huft, aku menembaknya. Tapi dia belum mati. Dia masih sekarat di rumah sakit,"

"Ledakkan saja rumah sakitnya," Saran gila Chanyeol ini membuat Sehun ingin memukul kepala lelaki caplang itu lagi.

"Apa bedanya aku dengan mereka kalau begitu,"

"Yah, sekali melakukan sesuatu jangan tanggung-tanggung," Kata Chanyeol santai. "Aku akan pergi beberapa hari,"

"Kemana?"

"Kau terlalu banyak tanya. Sudah ya," Chanyeol menepuk bahu Sehun. "Semoga berhasil,"

"YAK! HYUNG! INGIN KEMANA?" Sehun sedikit berteriak.

'kalau aku tau, sudah kubawa dia kembali padaku, Sehun-ah' Batin Chanyeol.

'kalau aku tau, sudah kubawa dia kembali padaku, Sehun-ah' Batin Chanyeol

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
PLAN A [BLACKVELVET]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang