Suara ketel yang menyeru-nyeru-milik Irene sepertinya, yang sedang sibuk sendiri memotong beberapa daun bawang-memenuhi bangunan dua lantai dengan arsitektur sederhana itu. Asapnya mengepul di langit-langit rumah yang tak terlalu tinggi, membuat gadis tertua itu seperti sedang berada di lapisan awan tipis.
Irene mengambil telur ketiga, memecahkannya dengan pinggiran penggorengan, lalu menuangkan isinya. Suara mendesis ketiga telur mata sapi di sana diramaikan dengan spatula dan penggorengan yang saling beradu.
Jam dinding dengan desain tua-dengan sebuah burung hantu keluar saat jarum panjangnya ada di angka dua belas-berdentang kencang. Irene mempercepat pekerjaannya, karena sudah waktunya mereka harus sarapan.
Sementara itu, penghuni rumah lainnya masih terlelap di kamar masing-masing. Ia ingin membangunkan salah satu dari mereka, namun karena malam tadi mereka tidur terlalu larut-menonton beberapa tayangan di televisi tua dengan beberapa kaset yang dibawa Joy serta tambahan beberapa kaleng bir-membuatnya tak tega. Apalagi saat melihat Jisoo yang baru memasuki kamarnya saat pukul 5 pagi karena bermain beberapa game di handphone-nya, rasanya Irene ingin murka.
Hampir selesai, Irene buru-buru menuang teh yang baru saja diseduhnya. Atensinya dialihkan dengan suara decitan tangga melingkar di sudut ruang itu. Seorang gadis yang masih mengenakan piyama hot pink tampak sedang turun. Sandal putih berbulunya agak tidak senada dengan lantai rumah yang telah usang.
"Butuh bantuanku?"
Irene menggeleng, "Sudah terlambat, Jennie. Aku hampir selesai. Satu cangkir lagi dan kau akan kupersilakan memanggil semua orang,"
Jennie tertawa kecil. "Baiklah, aku mencuci piring saja ya?"
Irene berdehem menyetujui. Hening lagi, hanya suara piring yang sedang dicuci dan helaan nafas Irene karena bagaimanapun, bekerja di udara sedingin ini ternyata melelahkan. Bukan, lebih tepatnya membuat ia susah bernapas.
"Hari ini dingin sekali, kan? Aku baru saja mengecek suhu, dan ternyata sudah hampir 10 derajat. Hei, ini masih musim panas kan,"
Jennie melirik, "Musim panas, tapi beberapa hari ini kan hujan. Lagipula, rasanya tidak ada musim panas di daerah seperti ini, Eonni,"
Irene hendak menutup jendela, namun matanya disuguhkan pemandangan apik nan sejuk. Empat ekor burung gereja mematuk-matuk pagar kayu di dekat situ, lalu terbang karena tak ada yang bisa dimakan. Matahari bersinar, walaupun beberapa kali awan tebal menghalangi cahayanya menyentuh tanah. Perbukitan berbaris rapi sepanjang garis horizontal, dengan warna hijau menyejukkan di mana-mana. Siapapun yang melihatnya pasti akan terpukau.
"Eonni, kau tahu," kata Jennie yang sekarang sudah duduk di meja makan. "Aku hampir meneriakkan nama Yeri, menyuruhnya sarapan dan pergi ke sekolah karena seharusnya ia harus berangkat lima menit lagi,"
"Kalaupun begitu, aku menyangsikan adanya sekolah menengah di daerah pengunungan yang minim penghuni ini. Kita saja harus berkendara selama 4 jam untuk sampai ke kota terdekat kan,"
"Tapi aku akui, tempat ini cocok untuk memberi ketenangan," kata Jennie lagi.
"Aku anggap itu sebagai ucapan terima kasih karena aku cukup lama mencari tempat ini. Baik, panggil mereka sekarang. Yang tidak mau bangun, siram dengan air ini. Hati-hati, ini sedikit hangat," Irene memberi Jennie sebuah teko kecil.
"Ini air mendidih, Eonni. Namun, terima kasih. Akan kulakukan,"
KAMU SEDANG MEMBACA
PLAN A [BLACKVELVET]✔️
Mystery / ThrillerHighest rank; #2 in mystery; #1 in yeri, #1 in Blackvelvet, #1 in psikopat, #1 in jisoo; #1 in chaelisa; #1 hunlis Sekelompok pengacau mengganggu kedamaian kota. Para pengacau diketahui mampu menembaki banyak orang yang menghalangi mereka. Siapa san...