Tiga tahun yang lalu.
Arell menghembuskan nafas berat. Ia berkali-kali menatap ponselnya dan berharap pria itu menghubungi. Namun hasilnya tetap nihil. Ponsel itu masih sama, tidak memunculkan pesan masuk ataupun panggilan masuk sejak terakhir ia berada di Indonesia.
Mike sepertinya marah besar.
Sejujurnya itu bukan salah Arell. Mike termasuk pria yang memiliki kadar cemburu yang terlalu berlebihan. Mike bahkan bisa cemburu hanya dengan melihatnya menangani pasien pria.
Yang benar saja. Dia seorang dokter. Dan tidak ada satupun alasan baginya untuk memilih pasien mana yang harus ia tangani. Bagi Arell, semua pasien itu memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pertolongan.
Arell kembali menghembuskan nafas berat. Ia menatap sekelilingnya yang ramai, tentu saja. Bandara Charles de Gaulle tampak sibuk siang ini. Gadis itu melirik jam tangan yang ia kenakan lalu mendengus.
"Nona Arell?" sapa sebuah suara mengejutkan Arell. Gadis itu mendongak menatap pria tinggi dengan setelan jas hitam menunduk hormat padanya.
"Ya?"
"Maafkan atas keterlambatan saya menjemput anda, Nona. Saya terjebak macet."
"Tidak masalah," jawab Arell sekenanya lalu tersenyum ramah. "Thomas, right?" tanya Arell yang langsung diangguki pria itu. "Dimana Rica?"
"Nona muda mengatakan akan menunggu anda di hotel, Nona," jawab Thomas sopan.
Arell mengangkat bahu acuh lalu berdiri. Membiarkan Thomas mengambil alih kopernya. Gadis itu memakai kacamata hitamnya lalu melangkah mengikuti Thomas yang lebih dulu berjalan di depan.
***"Kau yakin menggunakan itu?" tanya Rica tak percaya. Ia melihat Arell dengan tatapan mencela. "Oh ayolah, Arell. Kita akan ke klub. Setidaknya gunakan gaun yang menggoda."
"Aku tidak suka memakai pakaian terbuka, Rica. Mike akan marah besar jika dia tahu aku menggunakan pakaian kurang bahan seperti itu."
Rica mendengus. Gadis itu berkacak pinggang. "Tapi tunanganmu itu tidak ada di Paris, Arell."
"Aku lebih nyaman menggunakan ini," Arell mematut dirinya di cermin besar yang berada di dalam kamar hotel mewah itu. Kemeja berbahan jeans di padu dengan celana berbahan sama. Tidak lupa sepatu putih yang bertengger di kakinya.
Rica menghela nafas lalu mengangkat tangan menyerah. Ia tidak akan bisa mengubah keputusan seorang Arell jika gadis itu sudah berkehendak.
"By the way. Apa anak di bawah umur boleh memasuki klub?" tanya Arell membuat Rica tersenyum lebar.
"Kau tidak perlu cemas Arell. Dengan makeup yang tepat akan membuatku terlihat jauh lebih dewasa dari umurku," jawab Rica acuh. Gadis itu menatap Arell dari atas kebawah lalu menyeringai lebar. "Dan lihatlah wanita dewasa dihadapan ku ini. Kau bahkan terlihat jauh lebih muda dari umurmu."
Arell merengut masam membuat Rica tergelak puas. Satu hal yang Arell benci dari dirinya adalah wajah awet muda yang ia miliki. Jika saja Arell tidak menggunakan jas dokter kebesarannya, maka orang-orang akan mengira ia seusia anak sekolahan.
Dengan rambut hitam panjang. Bibir tipis menggemaskan. Mata bulat sempurna. Dan tinggi badan di bawah rata-rata.
"Sebaiknya kau memakaikan makeup ajaibmu itu padaku," sahut Arell malas. "Setidaknya aku tidak akan dikira sebagai anak sekolahan."
Rica tergelak puas. Ia mengambil kotak makeup lalu menarik Arell duduk dan mulai mendandani wajah bak boneka itu.
"Oh ya, aku sudah menghubungi Pamanku. Dia yang akan menjaga kita saat di klub nanti."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
PROMISE#3 ✔️
RomanceRiyanti Arellna Najwa (24). Arell tidak pernah mengira bahwa keputusannya datang ke klub malam membuat hidupnya berantakan. Mabuk dan berakhir dengan one night stand dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal. Rasa frustasi menyerang membuatnya mel...