15. BENCI

5.9K 714 312
                                    

SELAMAT SIANG MINNA,, MAAFKAN KETERLAMBATAN AUTHOR TANPA PENJELASAN INI YA😅

HAPPY READING DEAR 😘
🌸🌸🌸

Arell tidak berhenti menangis. Menatap sendu pada wajah Alva yang terbaring lemas. Dokter sudah memberikan obat penurun panas pada Alva. Dan Arell hanya bisa menunggu suhu tubuh putranya kembali normal.

Jemari Arell mengusap lengan kecil Alva pelan. Masih jelas dalam ingatan Arell bagaimana dia terbangun karena suara petir yang keras di luar sana.

Arell tidak suka hujan. Ia juga takut pada suara petir yang menyambar. Untuk itu lah saat ia dikejutkan oleh bunyi petir, Arell dengan cepat berlari ke kamar Alva berharap rasa takutnya menghilang jika melihat wajah sang putra.

Namun rasa takut itu tidak menghilang bahkan bertambah saat Arell menyadari bahwa Alva sedang sakit.

"Cepat sembuh, Sayang. Jangan buat Mommy takut," bisik Arell lirih sambil menciumi punggung tangan Alva. Ia benar-benar tidak suka berada di situasi seperti ini.

Alva memang sering sekali sakit. Tapi baru kali ini putranya itu sampai harus di larikan ke rumah sakit. Dan itu benar-benar menakutkan bagi Arell.

"Mommy,," panggil Alva serak. "Jangan menangis, Mommy. Alva baik-baik saja."

Arell menggeleng tidak setuju. "Alva tidak baik-baik saja, Sayang. Badan Alva masih panas."

"Alva sudah minum obat, Mommy. Sebentar lagi panasnya akan turun," ucapan penenang itu sama sekali tidak bisa meruntuhkan tembok khawatir yang Arell bangun.

Air mata Arell semakin deras turun. Ketakutan terbesarnya adalah melihat Alva dalam keadaan seperti ini.

Sementara Alva merasa sangat bersalah telah membuat sang Mommy menangis terisak seperti ini. Tadi malam ia merasa tubuhnya terasa aneh. Namun Alva mengurungkan niat untuk memberitahu Arell. Ia tidak ingin Mommy-nya itu cemas.

Tiba-tiba saja saat ia membuka mata. Yang pertama kali Alva lihat adalah wajah sembab sang Mommy dan juga dokter yang tengah menyuntikkan obat ke dalam tubuhnya. "Maafkan Alva, Mommy. Alva sudah membuat Mommy cemas seperti ini."

Arell hanya bisa terisak. Ia tidak mampu menjawab apapun. Hatinya masih merasakan takut.

Ketakutan yang benar-benar membuat tubuhnya bereaksi berlebihan.

Tapi Arell bisa apa? Alva adalah hartanya yang paling berharga. Arell akan sangat hancur jika Alva sampai meninggalkannya juga.

"Mommy,, Alva lapar."

Arell menghapus air matanya dengan punggung tangan lalu bangkit. "Baiklah, tunggu sebentar, ok? Mommy akan membelinya sebentar," ujar Arell yang di jawab Alva dengan anggukan. Arell segera berlalu setelah memberikan kecupan singkat di kening Alva.

Arell melangkah cepat menelusuri setiap lorong yang di desain mewah. Hanya rumah sakit ini yang jaraknya tidak begitu jauh dari tempatnya tinggal.

Dan Arell sangat bersyukur mengenai satu hal, bahwa rumah sakit besar ini memberikan pelayanan tidak pandang bulu sama sekali.

"Arell?"

Panggilan ragu itu menghentikan langkah kaki Arell dengan cepat.

"Arell, kan?"

Dan Arell seperti mengenal suara itu. Perlahan Arell berbalik. Maniknya membulat sempurna ketika melihat siapa yang menyapanya tadi.

Berbanding terbalik dengan seseorang yang langsung memeluk Arell sambil menangis histeris. Mengabaikan kenyataan bahwa ia bisa saja mengganggu kenyamanan pasien yang lain.

PROMISE#3 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang