.
.
.Gue udah natap pintu ruang kelas 11 MIPA 5 dengan bingung. Tangan gue jadi keringetan, saking bingungnya. Kotak bekal yang gue bawa masih gue bolak-balik pindahkan ke tangan gue kanan dan kiri.
Gue tadi yakin dengan niat gue. Tapi, sekarang nyali gue menciut lagi. Entah kenapa gue inget wajah Juna kalau lagi natap dengan horror. Hm, gue hembusin nafas dengan keras, kembali memantapkan niat.
Kali ini kaki gue udah mulai maju, memasuki ruang kelas di depan gue.
"Bangku Arjuna mana?" Gue nanya pada cowok berkacamata yang lagi nangkring di meja samping pintu kelas, tangannya sibuk pada hape.
Dia nggak ngangkat wajah sama sekali. Tapi, tangan kirinya nunjuk ke arah bangku paling pojok. Mata gue ikutin arah telunjuk itu. Dan benar saja gue bisa lihat cowok yang lagi duduk menyumpal telinga di sana. Itu Arjuna.
Kaki gue melangkah dengan ragu. Berkali-kali gue hembusin nafas, mencoba menguasai diri. Gue juga bisa rasain ada pasang mata yang melihat ke gue. Meskipun ini jam istirahat, tapi mereka masih ada yang berada di dalam kelas. Kalau tidak salah, sekitar tiga anak, termasuk cowok yang tadi gue tanyai. Entah siapa namanya.
Gue kayak punya kebiasaan manggil Juna yang lagi memejamkan mata sambil mendengarkan musik. Gue lagi-lagi ngetuk pelan meja di depan Juna. Cowok itu perlahan membuka mata. Gue bisa lihat, matanya melebar saat sadar gue yang 'manggil' dia.
"Mau apa lo?"
Gue jadi tersentak mendengarnya. Tapi gue meneguk ludah, dan ngulurin tangan, ngasih kotak bekal ke Juna. Cowok itu mengernyit sambil mandang gue datar.
Sisa teman yang berada di kelasnya juga terdengar ngomongin gue. Gue dengar, karena mereka juga nyebut nama gue sedikit keras.
Gini.
"Mau apa tuh cewek? Mau deketin Juna?"
"Lah, dia bukannya dari kelas sebelah?"
"Hah masa? Gue nggak kenal. Gue cuma kenal sama Nanna."
Gue ngehela nafas aja. Dan kembali fokus pada Juna lagi. Cowok itu kini masih bersedekap sambil menatap gue datar. Gue sendiri udag duduk di bangku depan tempat duduknya, dan sepenuhnya menghadap ke dia.
"Mau lo apa sih?"
Gue senyum simpul mandang dia.
"Gue cuma mau ngasih lo bekal. Trus entar malem nonton yuk. Ada film baru," kata gue ngegas. Dia melotot tajam mandang gue.
Oke. Gue siap-siap dia bakal meledak. Gue hembuskan nafas mencoba tenang. Gue bisa lihat, dia juga hembusin nafas dengan kasar. Wajah dinginnya natap gue. Gue tersentak, sampai reflek termundur.
Dia kelihatan marah.
"GUE ITU NANYA, MAU LO APA SIH. DATANG KE KELAS GUE NGASIH MAKAN. EMANG GUE NGGAK BISA BELI MAKAN?"
Kalimat panjang nan pedas itu menerobos gendang telinga gue dengan cepat dan tepat. Dia meninggikan suaranya sambil memicing natap gue. Gue lihat ada siratan amarah di wajahnya.
Gue tersentak kaget mendengarnya. Dan lagi, wajah gue jadi memanas. Gue juga bisa denger suara cowok yang tadi main game nyahut pertanyaan gue di pintu, noleh manggil nama Juna sambil menghujat. Mungkin dia kaget dengan teriakan Juna barusan.
Tubuh gue gemetar hebat. Tangan gue udah penuh dengan keringat dingin. Gue baru sadar, Juna punya sisi menyeramkan seperti ini.
Gue nunduk, masih belum berani natap dia. Gue bisa dengar dia hembuskan nafas. Mungkin dia sadar, gue jadi menciut setelah teriakan tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Panah Arjuna
Teen Fiction[Completed] Ayuna suka yakult, tapi Arjuna nggak suka yakult. Ayuna suka Arjuna, apa Arjuna juga suka Ayuna? BUKAN PANAH ARJUNA Copyright©2018, inesby All Rights Reserved | 24 November 2018 Plagiarism not allowed.