15. Menyerah Saja?

155 36 4
                                    

.
.
.

Gue mengetuk-ketukkan sepatu di lantai sambil sekali lagi menghela nafas kasar. Sudah sekitar lima belas menit terhitung, tapi Yaya yang katanya lagi nganterin pesenan case hape belum juga keluar dari kelas yang sekitar lima belas menit lalu dia masuki. Dan di sinilah gue berada. Bersandar di dinding samping tangga sambil cemberut kesal menunggu Yaya. Sesekali memandang ke arah kelas yang tadi Yaya masuki. Tapi Yaya belum juga nongol.

Gue mendegus dan menyesal mengiyakan ajakan Yaya hanya karena iming-imingan bakalan dapat bonus kalau gue ikutan dia. Tapi tetap saja, lima belas menit itu waktu yang lama bagi gue. Apalagi gue lagi PMS dan pengen makan orang aja.

Gue mengumpat dalam hati dan masih menghentakkan kaki ke lantai sambil memanyunkan bibir. Apalagi sialnya hape gue charge di kelas sehingga jadi bosan akut begini.

Gue memilih nyerah, dan duduk menyelonjorkan kaki di anak tangga sambil memandang lelah ke arah lapangan tengah yang sedang sepi. Lihat, bahkan hari ini langit kembali mendung. Gue kembali menghela nafas, mencoba sabar saja. Untungnya juga hari ini Bu Endang nggak masuk, jadi cuma suruh ngerjain tugas dan gue mau ngerjain tugas itu di rumah aja.

Gue celingukan sesaat, sebelum akhirnya gue rebahkan tubuh ke belakang, ke anak tangga sambil sedikit meregangkan tubuh gue yang kerasa kaku. Apalagi PMS begini punggung gue juga keram. Setelah selesai begitu, gue langsung menegakkan tubuh kembali sebelum ada yang melihat kelakuan gue barusan.

Ya setidaknya jaga image lah.

"Lah, lo ngapain di sini, Na?" pertanyaan itu membuat tubuh gue otomatis terjingkat kaget. Gue langsung menoleh ke arah sumber suara. Ada Trio Ubur-uburnya 11 IPA 5 ft Arin. Astaga mereka udah kayak geng.

Keempat orang itu berjalan mendekat ke gue yang masih duduk sambil selonjoran dan tak berniat berdiri.

"Gue lagi nungguin Yaya berbisnis," jawab gue sambil nunjuk arah kelas yang tadi Yaya masuki. Rujin langsung mengangguk diikuti Jino dan Arin.

Mata gue sedikit melirik Juna. Dia hanya diam dan bersandar di dinding sambil mandang gue. Er, bikin salting. Pengen salto juga saking saltingnya.

Oke, gue tetap jaga image dan mencoba menguasai diri.

"Kemarin itu ternyata kakak elo ya, Na?" gue langsung tersedak ludah gue sendiri. Mata gue langsung membulat sambil mandang Arin tak percaya.

Tunggu, dari mana nih cewek tahu?

"Kemarin Jino habis beli sate bilang ketemu elo gitu," Arin berujar lagi tanpa menunggu gue jawab pertanyaannya. Cewek itu tersenyum sok manis. Dan, mendadak pengen gue kasih kopi biar pahit.

Gue mengumpat dalam hati sambil melirik Jino yang kelihatan nggak merasa berdosa sama sekali. Justru cowok itu nyengir sambil mandang gue. Gue makin merasa malu tertangkap bohong begini. Kalau tau jadinya begini, gue jadi nyalahin kak Jojo yang punya ide gila begitu. Lihat, kini gue udah dicap pembohong sama mereka.

Jadi pengen terjun payung. Tapi gue takut ketinggian. Gimana dong?

Gue menghela nafas sebelum berujar menjelaskan kejadian sebenarnya meskipun gue juga tahu mereka tahu yang sebenarnya.

"Gue ke kelas duluan," kalimat gue berhenti di kerongkongan ketika suara Juna menerjang. Cowok itu bahkan sudah berjalan pelan dan pergi begitu saja. Gue bisa lihat Arin gelagapan pengen ngejar Juna.

Gue menghela nafas ketika mendapati tubuh Juna mulai menghilang ditambah Arin yang heboh mengejar Juna.

"Kalian nggak balik juga?" Tanya gue malas pada Rujin dan Jino. Dua cowok itu terkekeh canggung.

Bukan Panah ArjunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang