2. CHATTING
-
Gue mendengus ketika melihat Jino lari-larian di parkiran yang masih ramai. Cowok berwajah kecil itu berteriak heboh ketika gue baru saja menyalakan mesin motor. Detik selanjutnya, Jino tau-tau sudah menepuk bahu gue dan udah nangkring di motor gue. Gue mendengus.
"Gue tadi masih dipanggil Pak Mario. Lo malah main kabur aja," katanya masih dengan nafas naik turun.
Gue memutar bola mata,"gue kira lo nggak nebeng pulang," Jino langsung menonyor kepala gue dari belakang. Gue mendengus sambil kembali menegakkan kepala. Emang ya, udah hobi nebeng, kasar juga sama supirnya. Eh, supir? Dih, kagak sudi.
"Udah buruan pulang. Gue laper, Jun," katanya tak sabaran. Gue tak menjawab dan memilih meringis prihatin saja. Selanjutnya gue segera mengegas motor dan pergi menjauh dari sekolah. Jino tuh emang nggak tau diri. Jadi yakin aja kalau pada akhirnya dia juga jomblo mengingat dia yang modal nebeng begitu.
"Gue tuh males aja bawa motor. Soalnya gue tuh hobi ngelamun. Gimana coba ntar kalau gue nabrak orang? Lo mau tanggung jawab?"
"Lo yang nabrak kenapa gue yang tanggung jawab, ege?"
Kalimat gue cuma dianggap Jino sebagai angin lalu. Cowok satu ini kembali bercerita ini itu dari mulai seputar futsal sampai ke masalah cewek yang katanya lagi dia dekati tapi udah punya pacar. Pengen ngakak, tapi gue lagi nyetir. Yaudah gue cuma nyengir gila aja.
"Thanks, bro!" Jino menepuk pundak gue ketika cowok itu barusan turun dari motor ketika gue baru saja menghentikan motor di garasi rumah gue. Jino turun dan segera berjalan ke gerbang untuk pulang. Gue hanya mengangguk seperti biasa tanpa banyak komen, dan langsung melenggang masuk kedalam rumah. Oh, ya mungkin papa juga belum balik dari kerja.
Rasanya sepi banget jadi anak tunggal. Apalagi tinggal dirumah seluas ini. Emang sih kadang Jino, Rujin dan Yaya datang ngeramein, tapi kan mereka juga nggak tiap hari main dirumah gue. Apalagi papa gue nggak minat nyewa pembantu.
Gue melangkah pelan dan segera mendudukkan diri ke sofa sambil memencet tombol power di remot televisi, menyalakan televisi. Gue merebahkan tubuh sambil bergantian mengganti channel. Berkali-kali, tapi tak ada acara menarik untuk di tonton.
Gue bangkit, mematikan televisi dan berencana untuk pergi ke kamar dan tidur siang. Tapi langkah gue terhenti ketika mendengar getaran hape gue yang gue taruh di meja. Gue meraih benda berbentuk pipih itu, dan membukanya tanpa menerka-nerka dari siapa. Mungkin juga dari Jino yang ngajakin main futsal.
Gue memandang gambar yang barusan gue buka. Pengirim yang tidak asing itu buat gue merasa di kutuk diam tak berkutik. Tubuh gue tiba-tiba memanas dengan raut wajah gue yang berubah mengeruh. Mata gue masih saja memandangi deretan kalimat dan gambar itu dengan ekspresi tak terbaca.
Mama : *send a picture
Mama : mama besok nikah. Kamu apa kabar?
Gue memandang undangan yang mama foto, lalu kirimkan ke gue dengan ekspresi datar. Detik selanjutnya gue mendengus, mengabaikan pesan itu. Gue membanting hape ke sofa dan berjalan pergi. Tapi lagi-lagi dentingan hape gue buat gue menyerah, dan berbalik untuk kembali memeriksa hape. Mama lagi?
Mama : kamu apa kabar? Kok nggak dibalas sih, Jun. Mama kangen sama kamu.
Juna : nggak usah bilang kangen kalau pada akhirnya ninggalin
Mama : mama nggak ninggalin kamu. Coba kamu ikut mama, pasti mama nggak ninggalin kamu
Juna : ya karena mama nikah sama bule spanyol itu
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Panah Arjuna
Teen Fiction[Completed] Ayuna suka yakult, tapi Arjuna nggak suka yakult. Ayuna suka Arjuna, apa Arjuna juga suka Ayuna? BUKAN PANAH ARJUNA Copyright©2018, inesby All Rights Reserved | 24 November 2018 Plagiarism not allowed.