18. Kecelakaan?

163 38 11
                                    



"Hah, seriusan Rujin begitu?"

Gue mengangguk lesu sambil kembali memasukkan hape ke saku rok. Kali ini gue sama Yaya lagi duduk selonjoran di depan kelas sambil melihati anak cowok yang lagi tanding futsal sama anak cowok kelas 11 IPA 1. Gue juga bisa dengar banyak dari mereka teriak-teriak histeris. Padahal cuma ngejar bola begitu.

Gue membuka bungkus roti yang tadi gue beli bareng Nanna di kantin. Yaya masih saja mengamati gerakan gue. Gue menoleh merasa diamati.

"Kenapa? Lo mau?"

Yaya justru menggeleng putus asa.

"Trus?"

"Hati elo apa kabar?"

"Baik. EH!"

Yaya langsung menggerakkan tubuh, menghadap ke gue sepenuhnya. Tanda-tanda inilah tanda di mana Yaya bakalan khotbah lagi di hari yang cerah ini.

"Elo yakin itu Rujin yang ngirim?"

Gue memutar bola mata malas. Yaya kira gue ngada-ada. Padahal sudah jelas dia berkali-kali melihati hape gue, membaca dengan serius isi kalimat yang semalam Juna kirimkan ke gue. Yaya kembali mengernyit memandang gue yang hanya bisa menghembuskan nafas lelah. Yaya jadi geleng-geleng kepala tak percaya.

.
.

Pak Dion, guru matematika itu sedang sibuk menulis di papan tulis sambil sedikit menerangkan materi hari ini. Kali ini gue memilih duduk di bangku Yaya yang deket jendela. Sedangkan Yaya duduk di bangku gue. Bahkan kali ini Yaya kelihatan serius mencatat, seakan matanya hanya terpaku pada deretan angka di depan sana. Gue menulis sambil menopang dagu dengan tangan kiri. Yang biasanya gue mencatat dengan aneka warna bolpoin, kini entah kenapa gue lagi nggak minat nulis pakai bolpoin selain warna hitam. Dan kali ini justru si Yaya yang kelihatan semangat nulis rumus dan soal serta jawaban menggunakan bolpoin yang berbeda-beda.

Gue kembali menghembuskan nafas tak minat. Sejak dulu emang gue nggak klop sama pelajaran matematika. Ditambah hari ini hati gue lagi potek.

Gue melamun. Gerakan tangan gue perlahan berubah menjagi gerakan coret-coret hangeul di buku. Mata gue menerawang jauh. Pikiran gue tiba-tiba ingat pertama kali gue nyatain perasaan ke Juna. Gue menghela nafas sekali lagi ketika ingat selama ini Juna tetap cuek ke gue. Apalagi Arin tiap hari makin lengket. Sebenarnya gue bingung sama perasaan gue. Kenapa gue nggak nyerah dari awal aja setelah banyak yang gue perjuangin, tapi yang gue perjuangin bahkan seperti nggak anggap gue ada. Perlahan gue tersenyum miring ketika ingat watados Juna. Bener kata Yaya, Juna emang kelihatan polos. Tapi polosnya polos yang bikin sakit hati. Lebih tepatnya Juna itu nggak peka.

"Ayuna!!"

"Eh, Arjuna ayam."

"Arjuna?"

Gue tersentak ketika kursi gue ditendang oleh Yaya. Seluruh mata penjuru kelas kini tertuju ke gue, begitupun Pak Dion yang sudah menatap gue dengan kedua alis yang bertaut. Gue memukul kepala kemudian ketika ingat apa yang barusan gue ucapkan. Gue merunduk malu. Di samping gue Yaya udah cekikikan menutup mulutnya takut kelepasan.

"Kamu melamun apa, Yuna?" pertanyaan Pak Dion buat gue mengangkat wajah. Gue jadi sadar kalau Pak Dion mungkin sejak tadi udah mergoki gue yang sedang melamun ria di jam pelajarannya. Gue garuk-garuk kepala bingung.

Kicauan teman-teman mulai terdengar riuh ketika gue tak kunjung ngejawab pertanyaan Pak Dion. Gue memandang Pak Dion sekali lagi sambil meringis kikuk. Pak Dion geleng-geleng kepala dan tak berniat mendengar jawaban gue. Guru asal Surabaya itu kembali lagi menghadap papan dan menulis beberapa rumus di sana. Gue mengusap dada lega.

Bukan Panah ArjunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang