19. Say, Hai!

173 33 48
                                    

Rujin : jangan kaget, hehe. Dia cuma keseleo dan lecet dikit di sikunya.

Gue memejamkan mata sejenak, sebelum akhirnya menghembuskan nafas kasar. Yaya di samping gue garuk-garuk kepala tak percaya. Gue mencibir Rujin karena membuat gue dan Yaya senam jantung tadi. Yaya terdengar meletakkan hape dengan sedikit kesal. Bahkan terdengar umpatan kecil mengumpati nama Rujin.

"Gue kira Juna bakal sekarat," cibir Yaya. Gue memijit pelipis sambil mengangguk-anggukan kepala mencoba sabar saja.

Gue nggak banyak protes saja. Yaya sendiri sudah balik lagi memainkan hape tanpa bertanya lebih kondisi Juna pada Rujin. Ya, meakipun keseleo pasti juga sakit. Apalagi ditambah nyungsep ke aspal. Gue sih mau aja nanya ke Rujin. Tapi kesannya kok rada gimana gitu. Apalagi ketika gue ingat soal sms bajakan kemarin. Dih ogah, mending biarin aja. Mau sekarat juga gue nggak bakalan peduli.

Tapi jujur, tadi gue hampir nggak nafas ketika dapat pesan dari Rujin.

Emang kampret tuh Rujin.

Saat gue sedang sibuk melamun ria, Yaya tiba-tiba menoleh pada gue.

"Mau jenguk Juna, nggak? Ya, meskipun cuma keseleo tetap aja namanya kecelakaan," pertanyaan Yaya buat gue menoleh sepenuhnya pada Yaya dengan alis bertaut.

"Hujan, Ya. Gue mager kalau hujan. Toh, besok paling dia udah bisa jalan," jawab gue sekenanya dan balik menopang dagu, memilih memejamkan mata sejenak sambil menikmati sepoi-sepoi angin yang menerobos lewat ventilasi ruang kelas.

"Kasihan entar Juna nggak ada yang jengukin. Kalau gue, Rujin sama Jino pasti dia bakal bosen."

"Lah terus hubungannya sama gue apa, coba?"

"Ya ampun Yuna, elo nggak nyadar apa soal perasaan Juna?" tanya Yaya sambil menyenggol keras lengan gue, buat kepala gue terantuk dan hampir nyosor ke meja. Gue mencibir Yaya pelan.

"Udah udah. Gue males dengernya. Gue udah bilang sama elo gue bakal nyerah, kan? So, nggak usah diungkit-ungkit lagi," sanggah gue ogah-ogahan. Yaya justru menjitak gue. Sakit bangit elah, bikin gue mendelik tak terima.

"Elo itu cuma lihat dari sudut pandang elo. Gue lebih kenal siapa itu Juna, jadi percaya aja sama gue. Oke, Ayuna yang nggak peka?"

Gue refleks mencibir Yaya, menatap sangar Yaya. Yaya justru bersedekap memandang gue. Gue nyengir dan memilih menopang dagu lagi. Kali ini gue benar-benar pengen nunggu hujan sambil merem aja. Kali aja gue bakal dapat inspirasi.

"Gue itu malah paling peka dari dia," balas gue tak percaya dengan Yaya yang mulai khotbah.

"Iya. Elo peka sampai bego," detik selanjutnya gue langsung menatap Yaya sangar, mengancam supaya dia berhenti ngatain gue. Tapi yang ada Yaya justru makin menjadi, dan berceramah ria.

"Udah elah. Nggak usah bahas Juna. Kalau emang minat, besuk gue jenguk. Jadi no bawel-bawel," kata gue malas. Yaya memutar bola mata malas.

"Jangan malas, entar disalip Arin," kata Yaya sambil nepuk pundak gue. Gue meringis dan tak berniat menyahut Yaya. Biarkan saja dia ceramah buat diri sendiri. Apalagi sekarang bisa gue dengar dia sedang sibuk ngomongin Jino yang katanya lagi pedekate sama Nanna. Yaelah, Ya.

"Pulang bareng gue aja. Gue nggak jadi ke toko buku hari ini," kata Yaya menggoyang-goyangkan lengan gue antusias. Gue mendengus saja.

Emang bener ya, kadang gue tuh mikir apa Yaya dan Rujin itu nggak pernah berantem ala-ala drama atau novel gitu? Malahan mereka itu hobi menistakan satu sama lain. Intinya keduanya itu nggak kelihatan kalau pacaran. Bahkan mungkin orang yang pertama ketemu mereka, bakal bilang kalau mereka itu Tom and Jerry. Nah iya, kadang gue malah mikir Yaya itu pacaran sama kakak Yohanes. Dan Rujin? Jadi bodyguard-nya Juna-Arin bareng Jino.

Bukan Panah ArjunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang