8. Menghindar? Ya kali

171 36 0
                                    

Gue sibuk mencatat tugas bahasa Indonesia dengan buru-buru. Mata gue masih belum bisa lepas natap deretan kalimat panjang itu. Iya, liburan kemarin buat gue lupa waktu, dan makin malas-malasan, sampai lupa kalau bahasa Indonesia ada tugas seabrek gini.

Tangan gue terus sibuk mencatat, di samping gue Yaya baru saja duduk dan merogoh hapenya. Ah, mungkin dia udah ngerjain.

"Emang ada tugas?"

Lah. Gue kira elo udah tahu, Ya.

Gue noleh ke Yaya dengan menghentikan kegiatan menulis gue.

"Sebarek Ya. Lo udah?"

"LAH, TUGAS APA?"

Udah gue duga dia bakalan teriak. Gue kira sih dia udah selesai, eh malah heboh begitu. Gue udah lirik sekilas Yaya dan dia terlihat heboh mengeluarkan buku catatan bahasa Indonesia.

Gue mendengus sambil tak kembali peduli, dan fokus mencatat cepat.



Oke. Gue klenger.

Tangan gue pegel. Gue baru saja menyelesaikan tugas tersebut, dan kini sedang meletakkan kepala dengan menghembuskan nafas lelah berkali-kali. Bel masuk sudah berdering sejak lima menit yang lalu. Bu Rokayah belum juga muncul.

Gue berdehem, sambil sedikit melirik Yaya yang masih sibuk mencatat dengan tergesa.

"Ya?"

"Paan?"

"Ehm, gue mau nanya."

Dia noleh sambil mendengus natap gue.

"Entar dulu, elah. Gue lagi sibuk ini," katanya. Dan mulai kembali sibuk dengan kegiatannya lagi. Gue mendengus juga sambil mengerucutkan bibir memandang kelas yang sedang heboh itu.

"Na, pesenan puisi gue mana?" Gue tersentak ketika Nandra menoleh ke gue sambil menodongkan tangan. Menagih.

Gue ingat, Nandra pesen gue empat hari yang lalu untuk buatin dia puisi cinta. Katanya sih buat senjata pedekate ke gebetan barunya. Gue sih iyain aja, toh dia sering kasih gue yakult. Lagian dia temen gue. Meskipun otaknya sering senewen.

"Besok ya. Gue belum selesaiin. Tinggal dikit kok. Kemarin nggak sempet," balas gue.

Dia terlihat tidak terima, tapi mau gimana lagi, emang gue belum sempet selesaiin puisi itu. Lagian beberapa hari ini gue lagi kayak semedi di kamar terus sambil terus ngecek Instagram dan ngelihatin story Arjuna di sana. Ya, sampai akhirnya gue harus kepoin Arin juga.

Tapi gue heran, mereka nggak ada yang buat story. Hanya Yaya dan Jino yang pernah sekali posting lampu jalanan yang ada di depan vila Juna. Ah, mungkin mereka lagi sibuk berbahagia. Dan tidak sempet update story kehidupan mereka di sana. Oke, bisa gue ngerti.

Nandra sudah beranjak dan tidak menanyakan lagi seputar puisi itu. Gue kembali tak peduli, dan merogoh hape untuk buka akun instagram gue.

"Gaes, Bu Rokayah hari ini izin," gue noleh ke Karrel yang sedang berdiri di depan kelas itu.

Gue bisa denger sahutan memprotes. Iya mereka protes, karena udah ngebut mencatat tugasnya, eh, malah gurunya kagak hadir. Gue juga jadi kesel. Gue ngebut sampai tulisan gue kayak cakar ayam gitu.

"Astajim. Padahal gue udah ngebut kayak di kejar anjing," protes Yaya sambil melempar pulpennya ke meja dengan kesal. Tangannya bersedekap sambil memanyunkan bibir kesal.

"Iya tuh. Tau gitu gue nggak ngebut juga," balas gue sambil menegakkan tubuh.

Yaya menghembuskan nafasnya pasrah, dan menutup buku bahasa Indonesianya. Dia jadi meletakkan kepala sambil mandangin gue yang lagi cengengesan mandangi hape.

Bukan Panah ArjunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang