17. Dibajak

171 33 25
                                    

.
.
.

"Hitungan ke sepuluh tuh buku udah harus di gue. Kalau enggak, gue tinggal dan kumpulin sendiri ke Pak Aziz. Satu--" kata Karrel sambil bersandar pada pintu sambil mengacungkan jari tangan untuk menghitung. Di samping itu gue, Yaya, Yohanes dan Nandra sedang gelagapan nyalin tugas sejarah Indonesia kali ini.

"Sepuluh menit Rel, bukan sepuluh detik. Njir," keluh Yohanes. Gue jadi memutar bola mata, dan tetap melanjutkan tulisan dengan kecepatan tinggi, dan gue udah nggak peduli dengan bentuk tulisan gue nantinya.

Masalah ini tidak akan timbul jikalau tadi gue nggak ke UKS buat leha-leha karena Wi-Fi UKS yang lancar jaya. Kalau sudah begini gue juga nyalahin Karrel nggak ngechat gue kalau ada tugas dari Pak Aziz seabrek gini.

"Gue mau futsal. Buruan elah," katanya tak sabar. Gue menipiskan bibir tak menjawab, Yaya dan Yohanes sudah kompak mendengus. Nandra sendiri sedari tadi sudah fokus merunduk, menulis dengan cepat. Dan sempat tadi gue lihat dia salah nulis paragrafnya, dan berakhir menyobek kertas bukunya, dan lanjut nulis ulang sambil mengumpat kesal. Makanya sekarang agak kelihatan anteng begitu.

"Makanya kalau ada tugas tuh dikerjain tepat waktu. Karet lo pada," dengus Karrel.

"Hush diam, Nak," sanggah Nandra cepat. Karrel jadi melengos malas. Cowok itu tadinya sudah bersiap pergi, tapi tak jadi karena mungkin merasa kasihan pada kami berempat. Alhasil, Karrel memilih membanting tumpukan buku itu dan kembali mendudukkan diri sambil menunggu kami berempat selesai menyalin tugas tanpa banyak protes lagi.

.
.

Oke, gue klenger.

Gue meregangkan tubuh ke kanan dan ke kiri secara bergantian. Tugas tadi udah gue kumpulin ke Karrel barusan. Dan cowok itu juga sudah melenggang pergi mengumpulkan tugas ke meja Pak Aziz.

"Gue pulang dulu, Ya," pamit gue pada Yaya yang sepertinya sedang mengirim pesan pada Rujin itu. Yaya mengangkat wajahnya sambil mengangguk. Gue berjalan keluar dan mulai meningagalkan Yaya sendirian. Toh, nanti bakal dijemput Rujin.

Gue menengok ke arah gazebo yang sedang dihuni anak-anak ekskul tari. Di lapangan tengah ada anak futsal yang katanya bakal mau tanding lawan anak sekolah depan. Lapangan basket sore ini pasti juga dihuni anak-anak yang lagi pengen tinggi. Gue dulu emang minat sama basket dengan alasan pengen tinggi juga. Tapi, karena Yaya khotbah seharian nyeritain suka duka jadi anak basket, akhirnya gue mengubur keinginan gue itu. Gue sebenarnya anggota klub menulis, tapi akhir-akhir ini gue nggak pernah hadir di pertemuan. Mungkin juga nama gue udah di hapus dari daftar anggota. Bodoamat.

Gue menipiskan bibir dan memilih lanjut berjalan pulang.

Tunggu.

Gue berhenti mendadak sambil memandang ke arah gerbang yang sekarang sudah berjarak sepuluh meter dari tempat gue berdiri. Tapi gue meringis saat tahu siapa orang yang sedang jongkok di sana. Dari jauh pun akan mudah kelihatan kalau itu Jino. Cowok itu bahkan kelihatan sedang jongkok di samping gerbang sekolah sambil nyabutin rumput. Gue mendengus melihat tingkah Jino dan berjalan mendekat ke arahnya.

"Lo lagi bantuin Pak kebun apa gimana?" pertanyaan gue membuat cowok berwajah mungil itu mengangkat wajah. Dan detik selanjutnya cowok itu tersenyum sumringah dan langsung berdiri seakan menyambut gue yang seperti telah lama menghilang.

Gue nyengir melihat perubahan ekspresi Jino barusan.

"Gue nungguin Juna. Katanya lagi ada urusan sama Arin. Gue nunggu di sini biar nggak ditinggalin lagi. Biar kelihatan kalau gue ada," terangnya tegas.

"Hidup lo meprihatinkan banget," cibir gue. Jino menipiskan bibir seperti tak tahu harus menjawab gue apa. Mungkin emang kalimat tadi sangat cocok untuknya.

Bukan Panah ArjunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang