7. Alasan

148 34 0
                                    

Disinilah gue. Ngamati dua sejoli yang lagi bermesraan. Nggak sih, Arin sama Juna hanya ngobrol seperlunya. Yaya sama Rujin juga lagi main hape masing-masing. Gue cuma iri aja, mereka terlihat baik-baik saja tanpa gue.

Gue jadi ingat kata Nandra.

"Emang lo nggak bosen, jadi jomblo abadi?"


Pengennya sih nggak begitu. Tapi mau dikata bagaimana, emang ini takdir gue.

Huh, gue hembusin nafas dengan lelah. Menyeruput jus alpukat gue sambil memandang nanar ponsel gue yang sepi. Nelangsa sih, tapi ya udah deh nikmati saja.

Hape gue bunyi.

Yaya : jangan ngelamun. Yang kuat, biar nggak makin di remehin.


Gue ndengus sambil baca pesan itu. Yaya ada-ada saja. Padahal dia lagi sibuk ngobrol sama Rujin. Tau lah, Yaya emang gitu orangnya. Gue nggak balas pesan itu, dan masih sibuk nyeruput jus alpukat gue sambil lanjutin bengong.

Gue bener-bener jadi rindu sama Jino.

"Eh, minggu depan kan ada waktu libur tiga hari. Gue pengen ajakin kalian ke Bogor," kata Juna memecah keheningan setelah beberapa saat. Gue jadi ngangkat wajah, dan noleh dengan tatapan datar.

"Wah, ke vila bokap lo, Jun?" Suara nyaring Rujin terdengar. Gue bisa tebak, dia lagi seneng tuh.

"Iya," jawab Juna sambil mengangguk. Gue menghela nafas lelah. Apa gue harus ikut ya? Tapi kalau nggak ada Jino, gue males ah. Jadi obat nyamuk lagi kalau Arin juga ikutan.

"Jino ikut nggak?" Tanya gue sambil nunduk mandang hape. Gue masih menghindari tatapan Juna.

"Pasti ikutlah. Lagian mana betah dia di rumah sendirian," jawab Yaya dengan nada mengejek. Gue manggut-manggut.

"Gue ikut deh. Lagi nggak ada kegiatan," kata Arin. Gue jadi noleh ke dia yang terlihat lagi bahagia. Gue miris lagi.

"Lo gimana, Na?" Tanya Yaya sambil natap gue, minta jawaban. Jujur, gue belum tahu harus jawab bagaimana.

"Gue nanya Mama dulu. Katanya Mama mau ngajak ke rumah nenek, tau jadi atau nggak," jawab gue sekenanya. Emang mama pernah sih ngajakin ke rumah nenek. Tapi nggak tahu kapan. Ya, setidaknya ada alasan untuk menghindari ikut mereka.

Jujur, gue pengen ngedem otak dulu. Pengen lupain kejadian akhir-akhir ini. Pengen renungin kesalahan gue juga.

Gue hembusin nafas dengan lelah sekali lagi. Menyeruput sampai habis jus alpukat gue.

.
.
.

Gue lagi duduk di depan kelas bareng Yaya dan Nanna. Mereka juga lagi ngobrolin seputar case hape Yaya yang lagi laku keras. Gue ngamati aja, sambil main hape.

"Eh, Yuna. Gimana, Mama lo jadi ngajakin ke rumah nenek lo?" Tau tau sosok Rujin dan Jino udah menyeruak duduk disamping gue dan Yaya. Nanna bahkan sedikit terkejut dengan kedatangan mereka.

Gue mengamati mereka. Nggak ada Arjuna kok, jadi gue bisa ngomong leluasa tanpa harus dihantui rasa menyesal.

"Gue nggak bisa ikutan deh. Mama jadi ngajakin ke rumah nenek," kata gue bohong.

Iya, mama nggak ada ngajakin gue ke rumah nenek. Gue cuma cari alasan supaya nggak ikut aja.

Yaya noleh ke gue.

"Lah. Lo nggak ikut, Na. Gue pengen lo ikutan sih. Tapi nggak masalah kalau emang lo pengen ke rumah nenek elo. Udah lama kan nggak ke sana," kata Yaya. Gue mengangguk.

"Oke. Berarti, bakalan gue yang jadi obat nyamuk di sana," kata Jino dengan nada nelangsa.

Gue jadi seperti bercermin saat lihat Jino nelangsa begitu. Gue inget diri sendiri pas nggak jadi nonton malam itu, dan duduk terbengong dengan bego ngamati dua pasangan yang lagi ngobrol asyik.

Maafin gue Jino, kali ini elo harus menderita.

"Eh, gimana kalau gantinya ngajakin Nanna aja?"

Anjir, gue pengen ngumpat aja. Jino ternyata gas banget orangnya. Yaya dan Rujin juga sudah mencibir sambil melengos, membuang muka. Nanna mengerjap bingung.

"Gue harus bantu mama di restaurannya. Lagi rame," jawab Nanna.

Yes. Jino akhirnya bakal sendiri. Nanna emang keren nolaknya. Kembaran yang tak serupa gue emang the best.

Jino, maafin Yuna yang laknat ini ya. Kamu harus sabar aja, kakak doain yang terbaik.

Anjir, gue bayangin aja rasanya pengen muntah.

Jino hanya menekuk wajahnya dengan cemberut. Sial. Meskipun begitu, dia tetap ganteng kok.

Gue sampe pernah mikir, apa gue pindah haluan ke Jino aja ya. Lagian Jino saudara Yaya, pasti bakal lancar. Tapi gue nggak semudah itu orangnya. Meskipun berkali-kali Juna nolakin gue, gue masih merasa harus usaha lebih.

Tapi semenjak hari itu dia ngebentak gue, gue jadi nggak tau mau gimana lagi menghadapi seorang Arjuna.





Tapi semenjak hari itu dia ngebentak gue, gue jadi nggak tau mau gimana lagi menghadapi seorang Arjuna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Gue naruh coklat panas di meja belajar gue, sambil ngamati layar laptop gue yang menyala. Gue baru saja update cerita baru ke Wattpad gue. Karena gue udah lama hiatus.

Gue pentelengin itu cerita. Belum ada yang baca, karena baru beberapa menit
yang lalu gue publish. Maklum, pengikut gue nggak banyak. Sekitar enam puluhan doang. Jadi gue nggak banyak berharap.

Gue juga tadi dapat pesan dari Jino dan Yaya kalau mereka udah sampai di vila papa Juna. Katanya papa Juna juga ikutan ke sana. Gue jadi nggak bisa ngasihani Jino. Apalagi Jino katanya klop banget sama papa Juna. Udah kayak anak sendiri.

Hm. Cukup gue yang ngenes.

Nama akun Wattpad Yaya mendadak muncul di notifikasi Wattpad gue. Gue jadi mengecek dengan penasaran.

"Dih. Lo di rumah nenek, tapi dapat ide nulis ya, Na?"

Gitu, tulisnya.

Gue tersenyum miris baca kalimat Yaya itu. Gue nggak maksud bohongin elo, Ya. Tapi gue emang nggak punya alasan lain. Gue tahu jika cerita ke elo dengan jujur, elo pasti ngertiin gue. Tapi gue nggak mau yang lain nanyaain itu ke elo. Gue nggak maksud Ya.

Gue balas komentar Yaya.

"Rumah nenek gue kan ajaib."

Sekiranya gue tau gue harus ngapain disaat hal kayak gini nimpa gue. Intinya gue cuma menghindari Juna. Bukan Yaya, Rujin ataupun Jino. Karena secara nggak sengaja, mereka udah jadi bagian hidup gue selama ini. Ya, meskipun Yaya yang paling dulu kenal sama cewek bernama Ayuna ini.

Gue memandangi kalimat yang gue kirim ke komentar Yaya itu sambil menyesap coklat panas.

Mereka lagi ngapain ya?

.
.
.


Hm. Lagi minyak, eh nyimak.

Bukan Panah ArjunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang