Prolog

123 11 17
                                    

Sepasang insan manusia keluar dari kedai es krim. Tangan sang gadis memegang es krim dan menjilatinya hingga krim menyebar di sekeliling mulutnya.
Pria di sebelahnya hanya terkekeh dan geleng-geleng kepala dengan apa yg dilakukan gadis itu.

"Rel, kamu ini udah besar tapi kelakuannya masih kayak anak kecil," herannya.

"Kak Ailan, umur 13 tahun itu masih tergolong anak-anak," balas Aurel tanpa memandang pria yang dipanggilnya kakak. Dia masih sibuk menikmati es krim ditangannya. Rambut cokelatnya ikut menari seiring langkah kakinya.

Mereka terus melangkah menyusuri berbagai kendaraan beroda empat yang terjejer rapi dihadapan keduanya. Ailan berhenti tepat di sedan hitam, dia membuka pintu mobil tersebut lalu duduk dibalik kemudi berdampingan dengan Aurel. Setelah memasang seatbelt, mobil tersebut melaju membelah jalanan ibu kota.

Gadis itu memandang gedung-gedung pencakar langit yang menjadi ikon kota ini. Sesekali Ailan memandangi wajah Aurel yang menggemaskan saat memakan kerucut es krimnya.

"Rel, makannya jangan belepotan gitu," ujar Ailan sambil memberikan selembar tisu padanya. Aurel menghembuskan nafas menerima tisu itu, lalu membersihkan bekas es krim dimulut dan tangannya.

Dering ponsel di atas dasboard mengalihkan perhatian Ailan. Dia menepikan mobil kemudian menggeser tombol hijau dilayar dan mulai berbicara dengan orang di seberang sana. Sementara itu Aurel mengambil headphone dari dasboard lalu menghubungkan kabel putih itu kedalam ponselnya. Alunan melodi yang tenang mengalun dalam gendang telinganya.

Ailan mengisyaratkan kepada Aurel, bahwa dia akan menerima panggilan di luar. Sebagai jawaban Aurel hanya menganggukan kepalanya sambil tersenyum.

Ailan membuka pintu mobil dan melanjutkan pembicaraan itu. Sesekali Aurel mengintip dibalik kaca depan mobilnya. Kakaknya terlihat sedang memarahi orang yang telah menghubunginya, tapi dia tidak ingin terlalu ikut campur dan kembali mendengar lagu.

Ketika Ailan masuk dan duduk di kursi kemudi, Aurel melirik wajah kakaknya yang terlihat sangat marah. Dia tidak ingin bertanya alasannya dan membiarkan kakaknya mengemudikan mobil dengan tenang. Mobil itu melaju dengan kecepatan rata-rata membelai jalanan ibu kota.

Kerlap-kerlip cahaya dari gedung-gedung pencakar langit dan cahaya kendaraan memperindah malam ini. Namun mendadak hujan turun membasahi bumi.

Padahal langit semula tidak kelabu, tapi memang tidak ada bintang kala itu. Kaca mobil yang menguap sedikit mengganggu penglihatan kedepan.

Sebuah truk dari arah berlawanan menerobos pembatas jalan. Suara klakson bergema dari segala arah, baik kendaraan lain maupun truk itu. Bunyi rintihan hujan semakin memperkuat ketakutan malam itu. Semua suara memperingati bahaya tatkala truk itu melintas.

Kendaraan besar tersebut tak terkendali, ia oleng kekiri dan kanan. Truk itu mendekati sedan hitam milik Ailan dan Aurel. Cahaya lampunya yang menyilaukan membuat Ailan tak dapat melihat apapun.
Dalam hitungan detik truk itu menyenggol mobil Aurel sehingga mobil itu menabrak kendaraan di sebelahnya.

Pecahan kaca beterbangan kearah wajah keduanya. Aurel memutar kepalanya sehingga kaca itu hanya mengenai sebagian wajahnya. Sementara wajah lelaki disebelahnya telah berlumuran darah. Aurel menatap kakaknya, kemeja yang semula putih kini menjadi merah. Aurel hanya menangis tanpa suara saat melihat mata elang lelaki disampingnya telah tertutup.

Wajahnya terasa sangat perih, tapi dia berusaha menahan. Tubuh Aurel terasa ingin melayang, bahkan untuk mengangkat tangannya dia kesusahan.

Disisa tenaganya, jemari kecilnya berusaha meraih tangan besar lelaki di sampingnya. Kedua tangan itu berhasil menyatu sama seperti jiwa dan hati yang takkan dapat dipisahkan.

Samar-samar Aurel mendengar sirine polisi dan ambulance. Dia tak mampu lagi menahan rasa sakit diwajah, kepalanya terasa berat, sejauh mata memandang yang dilihat hanya potongan gambar yang tidak terlalu jelas. Kemudian ....

Semuanya menghitam

Waktu dan MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang