PART 16

9 0 0
                                        

Kesempatan tidak datang dua kali, jadi jangan sesali keputasanmu.

___T&D___


"Apa perjodohan?"

Angel sangat terkejut dengan perkataan wanita di depannya. Pantas saja papanya memaksa dia ikut, ternyata mau dijodohkan dengan Brian. Tatapan tajam menusuk iris hitam , tapi sama sekali tak lelaki itu hiraukan.

"Ia nak, sepertinya Pak Herman belum beritahu. Maafkan saya telah memberitahu duluan pak," sesal wanita itu.

"Bu Ayu tidak perlu meminta maaf seperti itu. Saya yang salah sebab lupa memberitahu Angel, tapi putri saya pasti setuju dengan keputusan saya," yakin Herman.

Bertambah sudah kekesalan Angel terhadap papanya, jika tidak mengingat reputasi keluarga. Angel sudah kabur sejak kata 'perjodohan' dilontarkan.

"Forget it. Lagipula Aron dan Angel sudah saling mengenal, jadi biarkan mereka berbincang sebentar, Pak Herman."

Papanya hanya mengangguk sambil tersenyum dan membiarkan Brian membawa dia pergi.

"Angel tahu kamu ngga suka sama perjodohan ini, kenapa ngga tolak aja sih?" kesal Angel.

"And you? Why not reject this arranged married?" bantahnya.

Angel lupa kalau dia sedang berbicara dengan pangeran es, yang tidak pernah peduli dengan orang lain. "Ya udah, sekarang gimana kita nolak perjodohan ini?"

"Don't refuse. Gue mau lo setujui perjodohan ini."

"Kamu masih waras kan? Angel ngga mau dijodohin, ini sama sekali ngga ada dalam wishlist Angel. Angel maunya dilamar sama pria impian Angel, bukan kaya gini," gerutunya.

"Gue tahu lo suka ama Dimas, my best friend. And i love your best friend. Kita juga tahu, kalau Dimas punya rasa sama Aurel. Jadi gue mau, lo deketin Dimas hingga dia jauh dari Aurel. Jadi gue dapetin Aurel dan lo dapetin Dimas? Setelah itu baru kita batalkan perjodohan ini dengan alasan mempunyai pasangan masing-masing," jelasnya.

Angel mengedipkan matanya beberapa kali. Dia tidak menyangka Brian menyukai sahabatnya dan mengatakan "suka" tanpa ragu. Satu lagi dia baru tahu kalau Dimas adalah sahabat Brian.

Dia memang menyukai Dimas, tapi membuat skenario dihidup sahabatnya ... itu bukan pilihan yang tepat. Apalagi kemarin-kemarin Aurel mengalami guncangan hebat. Dia tidak mau menambah beban pikiran Aurel.

"Ngga. Angel memang suka ama Dimas, tapi Angel ngga mau buat skenario dihidup Aurel." Dia menggelengkan kepala sedikit kencang.

"Ya sudah, artinya lo mau perjodohan ini tetap dilakuin," ancamnya.

Kebingungan benar-benar melanda sekarang, disatu sisi kehidupan sahabatnya dan disisi lain hidupnya. Dia tidak mau dijodohkan dengan pria dingin itu. Namun Dia sangat tahu sifat keras kepala papanya, yang menginginkan perjodohan ini terjadi.

"Oke, Angel setuju ama ucapan Brian," putusnya.

__T&D__

Wanita berambut hitam kecokelatan berjalan sambil menunjukan senyum dari bibir merah delimanya. Kaki jenjangnya berjalan bersamaan dengan ketukan sepatu cokelat. Murid laki-laki tampak menyapa sopan, walau beberapa menggoda.

Sekali lagi wanita yang akrab disapa Bu Sari, hanya menunjukan senyum ramah pada siswa yang menggodanya. Mendadak langkah wanita itu terhenti ketika melihat gadis berkacamata yang telah memikatnya, dengan suara merdu.

"Aurelia," panggil Sari.

Gadis beriris cokelat itu, lantas berjalan menghampirinya. "Ibu memanggil saya?"

Dia tersenyum lalu mengangguk sebentar, "Ia, ada hal penting yang mau ibu bicarakan dengan kamu. Ayo ikut ibu sebentar ke ruang musik."

"Maaf bu, tapi saya harus masuk. Karena Pak Andris ada dikelas dan menunggu saya membawa buku-buku ini." Dia menunjukan sedikit senyum, sebab tak enak hati dengan guru seni itu.

"Baiklah, saat jam istirahat ibu tunggu di ruang musik." Dia tersenyum sebentar lalu meninggalkan muridnya.

__T&D__

Iris cokelat Aurel membulat sempurna dengan mulutnya yang ikut membuka, saat mendengar pernyataan guru seni itu. Beberapa detik kemudian dia mengatupkan mulut disertai kedipan mata berulang kali.

"Apa ibu tidak salah bicara?" ragunya.

Sari tertawa sebentar. "Tentu saja tidak. Ibu tahu Celia telah dipilih menjadi pemeran utama dan kamu akan menjadi pemeran pengganti, bila suatu saat ada sesuatu yang terjadi dengan pemeran utamanya."

"Tapi, bukannya pemeran pengganti tidak diperlukan? Lagi pula Celia tampak baik-baik saja dan menggunakan pemeran pengganti hanya membuang waktu latihan saja," ungkapnya.

"Ya aku tahu. Celia baik-baik saja, tapi ibu tidak yakin dia bisa menjadi pemeran utama yang tepat. Jika kamu keberatan dengan arti pemeran pengganti, maka anggap ini sebagai bimbingan untuk ngembangin skill mu. Ibu bisa lihat bakat luar biasa yang kamu miliki, maka ... biarkan guru ini melatih bakatmu." Aurel terkekeh pelan, mendengar ujaran guru seni itu.

"Baiklah bu, saya setuju." Sari tersenyum senang mendengar perkataan siswinya. "Kalau begitu, besok jam 4 kamu datang ke gedung pentas." Aurel mengangguk sambil tersenyum.

Keduanya sedikit terkejut mendengar suara pintu yang terbuka. Lantas mereka melihat ke arah pintu dan menemukan Brian berdiri dengan headphone yang menggantung dilehernya.

"Maaf bu, saya tidak tahu kalau ibu sedang bicara dengan Aurel," ujarnya.

"Bukan masalah, perbincangan kami sudah selesai," wanita itu tersenyum ramah pada Aurel, "Ibu pergi dan jangan dulu beritahu pada siapapun." Dia tersenyum pada keduanya lalu melangkah pergi.

Setelah Sari pergi, Brian mendekati Aurel yang tampak bingung dengan keberadaanya. Terlihat jelas dari kedua alis yang terangkat.

"Ada yang mau gue bicarain sama lo," ucapanya dengan wajah datar seperti biasa.

"Soal apa?"

Brian tidak menjawab, melainkan menarik lengan Aurel sehingga gadis itu tak sempat menolak. Dahinya semakin berkerut saat Brian membawanya menaiki tangga menuju atap.

"Kenapa ke rooftop?" Sekali lagi Brian tak menjawab sehingga Aurel hanya diam dan memutuskan untuk menanyakan semua saat di atap.

Dia melepaskan lengan Aurel begitu mereka tiba di atap. Aurel membenahi letak kacamata, sehingga Brian dapat melihat iris cokelat itu dari jarak begitu dekat.

Jantungnya berdetak cepat, membuat dia semakin percaya dengan yang diyakininya. Brian tak bisa menahan senyum, walau Aurel bingung dengan tingkahnya.

"Apa yang mau kamu bicarakan?" pertanyaan Aurel menyadarkannya dari lamunananya.

"Aurel sebenarnya ...," ucapan Brian terhenti karena dering dari ponsel Aurel.

"Sebentar." Aurel mengambil ponselnya dan menemukan kalimat 'Nomor pribadi' terletak dilayar.

Napasnya memburu dengan tangan yang gemetar, dia takut bahwa pria 'itu' kembali menghubunginya. Dengan segera dia membatalkan panggilan. Terakhir kali dia mengangkat panggilan, nyawa sahabatnya adalah taruhan. Tidak tahu apa lagi yang diinginkan pria itu.

Brian dapat melihat tangan Aurel bergemetar, membuat dia penasaran siapa yang menghubungi gadis itu. "Are you oke? Siapa yang menelpon?"

Saat Aurel akan menjawab, ponselnya kembari berdering. Kalimat yang sama tertera dilayar, dengan sedikit keberanian dia mengangkat panggilan. Sebab dia harus tahu hal apa lagi yang diinginkan lelaki itu.

Brian tertegun saat mata Aurel membulat sempurna bersamaan dengan mulut yang sedikit terbuka. Tangannya menurun perlahan, lalu menjatuhkan ponsel dari genggaman. Irisnya bergerak cepat ke kiri dan kanan, dengan napas yang semakin memburu.

"Ada apa?" Aurel berlari tanpa mempedulikan ucapan Brian, sehingga lelaki itu menyusul pergi.

Bersambung ....

Waktu dan MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang