PART 18

10 1 0
                                    

Jika cinta bisa membuat bahagia
jangan lupa bila cinta juga bisa menyakiti

____T&D___

Ruangan yang tidak terlalu lebar, membuat Aurel sedikit kepanasan. Hanya sebuah kipas angin kecil, yang terus bergerak ke kiri dan kanan. Ditambah keberadaan Dimas dan Brian sehingga  suhu ruangan lebih meningkat. Namun bukan hanya dari suhu saja, melainkan perkataan yang terus dikeluarkan pria berkumis tebal itu.

Sedari tadi tidak henti-hentinya dia mengulangi peraturan sekolah yang sudah dilanggar oleh Aurel. Padahal ini pertama kalinya dia membolos, itupun karena ada situasi yang sangat darurat.

“Kalian tidak pernah bolos sebelumnya, lalu mengapa kalian membolos?” Aurel menatap Dimas dan Brian bergantian, memohon dari netranya agar salah satu dari mereka menjawab pertanyaan Pak Adris. Hingga Dimas menyerah dan menjawab pertanyaan guru pria itu. “Jadi kemarin ....”

“Walaupun ini pertama kali, tapi pelanggaran yang dilakukan sekali nanti akan melakukan untuk kedua kali, lalu ketiga begitu terus sampai jadi kebiasaan. Kalau kalian terus begini entar nilai kalian bisa jelek, terus ngga naik kelas. Mau ngga naik kelas?” tukas pria itu.

“Ia pak, tapi yang kemarin itu ....” Pak Adris, kembali menyela ucapan anak didiknya. “Ia bapak tahu kalian pasti punya alasan sampai bolos, tapi jangan sampai kalian bakal lakuin hal yang sama untuk kedua kalinya. Apalagi sampai bohongin satpam. Emang apa alasan kalian?”

Dimas sangat geram dengan gurunya ini, jika tidak mengingat pria di depannya adalah guru, mungkin Dimas sudah mengucapkan kata-kata kasar sejak pria itu memotong perkataannya dengan nasihat yang diulang-ulang.

Dimas menarik napas sebentar, menetralisir kekesalannya. “Jadi kemarin itu ada kejadian darurat, sampai kita bertiga nekat bolos,” jelasnya. “Kejadian apa?”

Aurel sontak menatap Dimas dan menggeleng pelan. Dia sangat tidak ingin masalah pribadinya diketahui orang lain. Dimas dan Brian tahu saja, dia sudah keberatan. Apalagi sampai pihak sekolah tahu?

“Kemarin ... kakaknya Brian kecelakaan jadi kita buru-buru ke Rumah Sakit pak,” ujar Dimas.

Iris Brian langsung menusuk netra Dimas, seolah berkata ‘habis lo setelah ini.’ Aurel bahkan bergidik melihat tatapan tajam milik si pangeran es.

“Kenapa ngga langsung bilang pihak sekolah? Pasti diijinkan keluar. Jadi kalian tidak perlu membolos.” Alis Dimas sedikit terangkat disertai penonjolan deretan giginya yang rapi. “Tunggu, kan kakaknya Brian yang kecelakaan, kenapa kalian berdua ikut pergi?”

Alis Dimas hampir menyatu, dia menunjukan senyuman datar dan tatapan ragu pada Aurel. Gadis itu kini mengerti kalau Dimas tak bisa lagi menjawab pertanyaan Pak Adris.

“Karena ... kemarin saya dan Dimas diminta Pak Kevin untuk membeli beberapa peralatan ohlaraga, tapi karena keadaan kakaknya Brian sangat parah dan orang tua mereka sedang di luar negeri, jadi kami membantu Brian mengurus kakaknya pak,” ujar Aurel dengan lembut.

“Baiklah, kalian bisa keluar, tapi jangan sampai kesalahan ini terjadi untuk kedua kalinya.” Mereka bertiga mengangguk, lalu meninggalkan ruangan itu.

Angel dapat bernapas lega saat sahabatnya keluar dari ruangan yang dihindari oleh setiap siswa. Dia tidak sendiri, ada Dika bersamanya.

Angel memegang lengan sahabatnya, bersamaan dengan kedua alis yang terangkat. “Gimana Rel? Kalian bicarain apa aja? Terus kalian dihukum ngga?”

Aurel tersenyum mendengar rentetan pertanyaan dari mulut sahabatnya. “Tenang aja. Kita ngga dihukum kok dan semua baik-baik aja.”

Gadis berambut kecokelatan itu menghela napas bersamaan dengan mata yang terpejam. “Syukur deh Rel. Angel udah khawatir tanpa alasan.” Dia terkekeh pelan.

“Angel udah cerita semuanya sama gue, Thank’s ya Dim, Bry, kalian udah nolongin Aurel. Seenggaknya saat gue ngga bisa nolongin dia, kalian ada buat dia.” Dika tersenyum senang pada kedua orang itu.

Brian tetap datar, meski dirinya sedang dipuji. Membuat Aurel penasaran dengan kepribadian pria itu. Sedangkan Dimas terkekeh mendengar pujian yang dilontarkan teman setimnya.

“Ngga usah segitu juga Dik. Udah seharusnya gue tolongin gadis yang istimewa.” Tatapan Aurel sontak beralih pada Dimas, gadis itu terpaku mendengar perkataan Dimas.

Sekali lagi hati Angel tersakiti, ternyata benar jatuh cinta tak selamanya indah. Perkataan Dimas benar-benar menyayat hatinya, dia tak sanggup lagi melihat tatapan penuh cinta yang Dimas tunjukan pada Aurel.

Gadis itu menutupi kesedihannya dengan senyuman, seakan hatinya tidak terluka. “Angel lupa, tadi Bu Sari manggil. Angel pergi dulu ya Rel. Bye semua.” Dia melambai dengan senyuman, lalu meninggalkan mereka.

Gadis dengan rambut bergelombang berwarna cokelat, mengepalkan kedua tangannya. Bahkan buku dalam genggamannya terkoyak akibat cengkeraman gadis itu. Tatapan penuh kilatan kemarahan, disertai dengan napas yang memburu, membuat siapa saja paham bahwa dia tak tahan dengan pemandangan di depannya. Gadis itu berbalik dan meninggalkan kedua temannya.

“Cel, lo mau kemana?” pertanyaan dari gadis dengan iris hazel sama sekali tidak dihiraukan.

__T&D__


Tatapan Celia begitu dingin, membuat siapapun enggan berdekatan dengannya. Kakinya berhenti dihamparan rerumputan dan daun-daun yang terjatuh. Lumut menempel pada dinding pagar yang menutupi sekolah dari lingkungan luar, pertanda tempat ini jarang dibersihkan.

Ditatapnya lambang bintang besar pada sampul buku berwarna biru. Dia mengalihkan pandangan pada beberapa lelaki yang mengisap batang berisi nikotin. Celia menghampiri keempat lelaki itu.

“Gue pinjam koreknya,” pintanya.

Seorang pria menghembuskan gumpalan asap beracun, lalu mengangkat alis. “Lo mau ngapain sama korek api?” herannya.

“Udah jangan banyak nanya, siniin koreknya atau gue laporin ke Pak Adris.” Pria itu menghembus kasar, lalu menyerahkan korek api. Kemudian Celia berjalan sedikit jauh dari mereka.

Celia tersenyum miring, saat menatap korek dan buku itu secara bergantian. “Lo udah ngerebut Dimas dari gue, orang yang paling berharga dalam hidup gue. Jadi gue bakal musnahin benda yang paling berharga dihidup lo.”

Nyala api keluar dari kotak kecil ditangannya, dia mengangkat buku tepat ke atas nyala api dan tersenyum miring. Ujung buku itu semakin mendekati api. Namun tangan seseorang membuat buku dan korek itu terlepas dari genggamannya.

Kilatan amarah terpancar jelas pada netra Celia. “Ngapain lo hentiin gue?!” geramnya.

Pria dengan tubuh atletis dan tatapan yang hangat, menunduk lalu mengambil buku yang terjatuh. Dipandangnya lambang bintang besar sebagai sampul. Lalu tatapannya beralih pada Celia.

“Udah gue duga kalau ini bukunya Aurel. Kenapa bisa ada di lo?” tanya Dika.

“Itu bukan urusan lo! Ngapain lo hentiin Gue?” sarkasnya.

Sellow, ngga usah marah-marah. Lo lagi PMS ya? Cewek kan gitu, kalau datang bulan suka ngomel-ngomel. Tunggu, seharusnya gue yang nanya kenapa bukunya Aurel bisa ada di lo? Dan ngapain lo mau bakar bukunya Aurel? Ini berharga tahu buat dia,” cerca Dika.

“Berharga? Terus gimana sama hal berharga yang udah dia rebut dari gue?” Tatapannya masih penuh amarah, tapi ada genangan air dalam matanya.

“Aurel itu baik, dia ngga mungkin ngambil sesuatu yang bukan milik dia. Tunggu lo mau nangis ya?” Dika menunjuk Celia dengan kedua alis yang terangkat.

Dia mengedip beberapa kali, lalu menunjukan wajah geramnya. “Bukan urusan lo!” serunya, lalu berjalan meninggalkan Dika.

Bersambung ....

Waktu dan MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang