PART 19

7 2 0
                                    

Jangan ragu katakan perasaanmu. Karena cinta harus diungkap bukan memendam dan menyakiti diri sendiri

Andika Satra

___T&D___

Aurel melangkah penuh yakin memasuki gerbang sekolah. Semua berjalan seperti biasa, hingga suara klakson mengagetkannya. Syukurlah dia sudah terapi menenangkan diri, jika tidak penyakitnya pasti kambuh.

Dika memarkirkan motor beat merah kesayangannya, dengan tepat. Dia melepaskan helm dan menggantungkan pada kaca spion, lalu menghampiri Aurel.

“Selamat pagi Aurel cantik,” rayu Dika disertai senyuman.

Aurel terkekeh mendengar rayuan yang selalu lelaki itu ucapkan setiap pagi. Namun perhatiannya teralih pada ukiran naga pada jaket berwarna biru kehitaman. Ukiran yang terletak di dada sebelah kiri, sama persis dengan ukiran naga pada jaket penjahat yang menculik Elo dan Angel. Walau Dika sudah mengatakan alasannya memiliki jaket itu, tetap saja keraguan Aurel belum hilang sepenuhnya.

“Aure,” Dika melambai-lambaikan tangan di depan wajah gadis itu, “lo ngga kesambet dedemit kan?”

Dia menghela napas sebentar, “Jangan mulai lagi deh Dik,” kesalnya.

“Iya deh ngga. Eh iya ...,” Dika menghentikan ucapannya, lalu membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah buku. Buku biru dengan bintang sebagai sampul, “ini buku yang lo cari itu kan?”

Aurel mengangguk cepat dan menerima buku itu dengan senyum lebar. Dia merasa sangat lega, hadiah kakaknya ternyata tidak hilang. “Kamu nemuin buku ini dimana? Aku udah nyari kemana-mana, tapi ngga ketemu.”

“Oh dapet dari ...,” Dika tidak bisa memberitahu kalau dia mendapatkan buku itu dari Celia, sebelum dia tahu alasan gadis itu mengambil buku Aurel, “itu, di taman belakang sekolah.”

“Kok bisa ada di sana?” Dika terdiam kala pertanyaan itu keluar dari bibir Aurel, “ya apapun itu, yang penting buku ini udah ketemu. Makasih banyak Dik.”

Dika tertawa canggung “Sama-sama. Gue duluan, masih ada kerjaan. Biasa orang sibuk,” candanya.

Kedua sudut bibirnya kembali tertarik, menampilkan deretan gigi yang rapi. “Iya deh.”

Lelaki itu berjalan santai dan tanpa sadar menjatuhkan dompetnya. Aurel mengambil dompet hitam itu, lalu memanggil Dika. “Dika,” lelaki itu berbalik badan, “dompet kamu jatuh.” melihat dompetnya berada dalam genggaman Aurel, membuat dia berbalik arah.

Pandangan Aurel terpaku pada potret seorang bocah yang tersimpan rapi di dalam dompet. Aurel yakin itu bukan foto Dika sebab wajahnya begitu berbeda. Ditatapnya lekat-lekat mata bocah itu, seketika bayangan mata penjahat itu terputar dalam memorinya.

“Gue ceroboh banget sih, untung ni dompet jatuh di sini.” Perkataan Dika membuyarkan lamunan Aurel.

Dia menyerahkan dompet itu pada Dika. “Iya, tapi foto didompet kamu itu siapa?”

“Oh itu abang gue.” Kedua Alis Aurel terangkat. “Aku baru tahu kalau kamu punya kakak. Aku kira kamu anak tunggal.”

“Wajar sih kalau lo ngga tahu. Soalnya gue dan abang gue terpisah dari kecil. Waktu papa ninggalin gue ama nenek, abang gue ngikut papa. Saat itu gue masih 3 tahun dan sampai sekarang gue ngga tahu dimana keberadaan bang Leo dan papa,” jelas Dika.

Aurel merasa prihatin mendengar kehidupan teman prianya. Kehidupan kelamnya tak sebanding dengan penderitaan Dika selama bertahun-tahun. Pasti sulit terpisahkan dari saudara dan dibuang oleh papanya.

Waktu dan MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang