============
-25- Warung Bu Amin
============
Kondisi Hendra sudah membaik. Hari ini ia dan Ira berencana akan mengerjakan skripsi sama-sama.Pukul 10 pagi, Hendra tiba di kost-an Ira. Dengan tangan membawa tas laptop dan dua buah buku tebal, Hendra keluar dari mobil. Hendra yang saat itu mengenakan kemeja abu-abu serta celana bahan hitam menyita perhatian warga kost yang sedang berada di teras.
Setelah mendapat izin dari anak pemilik kost, Hendra menunggu Ira di teras. Tadi di chat Ira mengatakan kalau dia sedang beres-beres kamar. Itu artinya Hendra harus sabar menghadapi para perempuan yang matanya jelalatan.
Ira akhirnya datang setelah dua belas menit menunggu. Ira juga membawa sebuah laptop.
"Ira, beneran kita ngerjain skripsi di sini?" tanya Hendra.
Ira lupa kalau hari ini hari Minggu. Kost ramai karena sebagian penghuninya libur sekolah atau libur kerja. Hendra pasti merasa tidak nyaman berada di sini. "Ada tempat yang cocok. Nggak jauh dari sini, jadi kita jalan kaki aja. Mobil kamu jangan lupa dikunci."
"Di mana?"
"Di ujung jalan. Warung gitu. Biasanya jam segini nggak terlalu ramai. Kita bisa minjem balkonnya."
"Ya udah, ayo."
Ira kemudian mengganti sandal jepit dengan sepatu flat shoes biru muda. Setelah itu dia dan Hendra pergi menuju tempat yang dimaksud Ira.
Namanya Warung Bu Amin. Letaknya yang strategis menjadikan warung tersebut ramai pembeli. Bu Amin yang hanya tinggal bersama dua anak remaja menyulap balkon rumahnya menjadi tempat nongkrong anak muda. Suami Bu Amin sudah meninggal sejak tiga tahun yang lalu.
Begitu sudah tiba, Ira menyapa ibu-ibu paruh baya yang sedang mengelap toples yang Hendra duga adalah Bu Amin.
"Eh Neng Ira." Mata Bu Amin beralih menatap Hendra. "Sekarang sama pacarnya, ya?"
Ira dan Hendra saling pandang. Ira sendiri bingung harus menjawab apa. Atau lebih tepatnya, Ira tidak bisa mendeskripsikan hubungannya dengan Hendra.
"Sama temen, Bu." Akhirnya Ira menjawab.
"Lho, biasanya kan rame-rame. Ini cuma berdua aja."
Ira meringis. Dia lupa satu hal, terkadang Ira memang datang ke sini bersama kelima temannya.
"Temen-temen lagi sibuk sama urusan masing-masing, Bu. Nggak bisa ngumpul di sini."
"Ooh."
"Saya numpang balkon ya Bu, sekalian pesen minuman seperti biasa."
"Terus Masnya mau pesen apa?"
"Saya kopi, Bu," jawab Hendra.
"Oke."
Setelah itu, Ira mengajak Hendra menaiki tangga yang menghubungkan lantai dasar dengan balkon. Hendra langsung takjub melihat balkon seluas kira-kira lima kali lima meter tersebut.
Ira dan Hendra duduk di kursi plastik. Lantas sama-sama meletakkan laptop di meja.
"Kamu sering ke sini?" tanya Hendra.
"Iya."
"Kamu nggak malu?"
"Maksudnya?"
"Ya maaf ya sebelumnya, kamu kan mampu pergi ke kafe atau ke tempat nongkrong yang mahal. Kenapa kamu milih tempat ini?"
"Ya karena aku suka aja sama tempatnya. Terus aku juga bisa meringankan beban Bu Amin dengan meramaikan tempat ini."
"Hanya itu?"
Ira mengangguk mantap.
Selanjutnya, Ira sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Sedangkan Hendra memperhatikan gadis itu. Niatnya mengerjakan skripsi sudah lenyap entah ke mana.
"Ira, aku mau tanya sesuatu. Masih berhubungan sama yang barusan tapi mungkin sedikit mengarah ke pribadi."
"Kalau aku bisa jawab, akan kujawab."
Mendengar penuturan Ira, Hendra tidak ragu untuk menanyakan hal yang selama ini mengganjal pikirannya. "Ira, kenapa kamu ngekost? Kamu mau mandiri atau ... Ada alasan lain?"
Ira menghentikan aktifitasnya. Dan tak langsung menjawab pertanyaan laki-laki itu. Anak penghuni kost—kecuali Sarah—tidak ada yang tahu alasan utama Ira memilih kost daripada tinggal bersama orangtuanya.
"Sebenernya, aku pergi dari rumah." Ira membuka tabir yang selama ini dia tutupi dari siapa pun. "Empat tahun yang lalu, aku marah sama mama. Aku waktu itu nggak terima mama merendahkan Alvi. Aku juga marah karena kedua orang tua aku lebih memilih kerja daripada duduk bareng sama aku. Aku marah karena mereka lebih memilih memberi hadiah daripada ngasih waktu luang mereka. Begitu mereka ada di rumah, mereka selalu nuntut aku untuk jangan berteman sama orang miskin. Mereka bilang kalau aku nggak cocok sama mereka. Makanya aku milih tinggal di sini, mencoba jadi anak yang mandiri tanpa ada embel-embel anak orang kaya. Aku mau buktiin ke mereka kalau aku bisa hidup tanpa mereka."
"Selama empat tahun itu kamu pernah pulang?"
Sebagai jawaban, Ira menggelengkan kepalanya.
Hendra sekarang mulai paham apa yang dirasakan Ira saat ini. "Niat kamu mau mandiri udah bener sih. Tapi coba kamu berandai-andai ada di posisi orang tua kamu. Zaman semakin susah, kita harus bisa mengikuti arusnya. Apa-apa sekarang serba mahal. Orang tua kamu banting tulang siang malam bukan buat mereka aja, tapi buat kamu. Walaupun mereka sibuk, tapi percayalah pikiran mereka selalu tertuju ke kamu. Mereka mau yang terbaik buat kamu meskipun rela mengorbankan waktu buat kamu."
Ira bergeming. Tak bisa menyangkal ucapan Hendra. Dari situ Ira memikirkan, bukankah dia sendiri juga bisa memaklumi kesibukan teman-temannya? Lalu kenapa ketika orangtuanya sibuk dia tidak bisa terima?
"Dan soal Mama kamu pernah merendahkan Alvi. Ya ... Kalau aku ada di posisi kamu aku juga marah. Karena menurut aku, orang kaya dan orang miskin tetap sama di mata Tuhan. Yang melabeli kan manusia itu sendiri. Cukup kamu doakan aja semoga hati Mama kamu melunak. Dan kalau bisa, tengokin mereka pas kamu sempat. Aku yakin mereka pasti sangat kehilangan kamu. Seburuk apapun sifat mereka, mereka tetap orangtua kamu yang udah rela kerja siang malam demi kamu."
Bu Amin datang dengan membawakan dua gelas pesanan Ira dan Hendra, meletakkannya di meja plastik berbentuk bundar. Ira dan Hendra kompak mengucapkan terima kasih sebelum Bu Amin turun.
Ira memperhatikan Hendra yang tengah menyeruput kopinya. Betapa beruntungnya wanita yang nanti mendampingi Hendra. Tak bisa dipungkiri bahwa Ira mulai mengagumi lelaki itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
After Your'e Gone [New Version - END]
General Fiction[seri bestfriend #2 -Ira-] Cover by @windastoryseries Ikhlas adalah suatu hal yang mudah diucapkan, namun sulit untuk dilakukan. -Irawati Ira dan Hendra, dua anak manusia yang di pertemukan oleh takdir. Berkat pertemuan itu, Hendra membuat tantangan...