AYG -10- Mirip 100%

585 39 3
                                    

==========
-10- Mirip 100%
==========

"Kamu kenapa?"

Satu pertanyaan keluar dari mulut Anita ketika melihat Hendra tidak menyentuh kentang goreng pesanannya sama sekali. Padahal sudah hampir setengah jam makanan itu datang dan kemungkinan sudah dingin.

"Kamu ada masalah? Mau cerita?"

Tidak ada sahutan.

Anita memutar bola matanya. "Aku berasa lagi ngomong sama patung."

Hendra menghela napas. Dilepasnya kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya lalu memijat bagian itu sebentar. Pertemuannya dengan Gita tadi sukses mengacaukan pikiran Hendra sepenuhnya. Bukan hanya itu, sejak melihat foto Alvi, Hendra dilanda penasaran tentang siapa sebenarnya Alvi ini.

"Jadi, kamu ada masalah apa?" tanya Anita sekali lagi.

Pria yang duduk di hadapannya itu memasang kacamata. Terdengar helaan napas setelahnya.

"Aku nggak bisa jabarin masalah itu ke kamu, Nit. Maaf," ucap Hendra setelah lama terdiam.

Anita tersenyum. Berusaha mengerti maksud ucapan Hendra. Dia cukup tahu diri untuk tidak ikut campur urusan sahabatnya itu. Toh jika Hendra berkenan pasti dia akan menceritakan masalahnya.

Namun hatinya bersikeras menolak. Hatinya terus menjerit, menginginkan Hendra mau berkeluh kesah padanya, tanpa ada embel-embel persahabatan di dalamnya. Hati memang tidak bisa dikhianati. Anita terus berharap suatu saat hubungannya dengan Hendra lebih dari sahabat dan Hendra butuh bahunya untuk bersandar.

"Nit, kamu nggak ada pemotretan siang ini?" tanya Hendra.

"Aku free hari ini. Makanya aku ngajak kamu ke sini. Udah lama kita nggak makan siang bareng."

"Lah kamunya sibuk. Aku nggak mau ganggu."

"Kayak kamu nggak sibuk aja." Anita hendak mencomot kentang goreng punya Hendra. Spontan Hendra mengambil piringnya. Tapi terlambat, Anita sudah mengambil makanan itu.

"Daripada dianggurin," kata Anita setelah menelan makanan Hendra.

"Tapi kan aku belum makan...."

"Siapa suruh?"

Anita kembali ingin mencomot kentang goreng, tapi kali ini Hendra berhasil menangkis tangan perempuan itu. Aksi perebutan kentang goreng pun terjadi. Keduanya sama-sama tidak mau kalah.

Untuk sejenak, Hendra melupakan soal Alvi Darmawan.

***

Usai mengantarkan Anita ke rumahnya, Hendra mampir ke kontrakan Ibas. Hendra rasa hanya Ibas yang bisa diajak bicara tentang Alvi. Meskipun nantinya Ibas tidak sepenuhnya percaya.

Seperti biasa setiap kali masuk ke kontrakan Ibas, alunan musik dangdut Jawa menyapanya. Hendra sudah hafal tabiat temannya itu.

Ibas segera mengecilkan volume begitu Hendra duduk di sofa. "Ada yang bisa Mbah bantu, Nak Hendra?"

Tawa Hendra menyembur. "Tau aja kalo gue ada masalah."

"Lo ke sini tuh kalo ada dua niat. Pertama, butuh bantuan gue. Kedua, main game sampe malem terus pulang-pulang dapet omelan dari nyokap lo." Ibas memperhatikan wajah Hendra dengan seksama. "Dari muka lo aja udah kelihatan kalo lo lagi ada masalah. Masalah apa? Coba cerita."

"Kok tadi lo nggak keliatan di kampus?"

"Ha? Oh, tadi, gue ada bimbingan ama dokter Agus. Kenapa emangnya? Kangen ya ama gue?"

"Justru itu, lo nggak tahu kejadian di kelas gue tadi."

"Kejadian apa?"

Hendra kemudian menceritakan awal pertemuannya dengan Gita. Seperti yang Hendra duga, Ibas tidak langsung percaya dengan ceritanya.

"Dia halu kali, bro."

"Lo nggak percaya? Nih gue kasih buktinya." Hendra mengeluarkan ponselnya. Mencari foto Alvi Darmawan yang ia dapat dari Gita. Hendra memang sengaja meminta foto Alvi supaya nanti punya bukti saat membicarakannya dengan Ibas. Begitu sudah ketemu, Hendra mencondongkan layar ponselnya ke wajah Ibas.

Ibas mengamati foto yang tertampang di layar ponsel Hendra. Ibas beralih ke wajah Hendra lalu mengamati foto itu lagi. Begitu seterusnya sampai Ibas merasa lehernya kebas karena keseringan menunduk-mendongak. "Hoax, ah! Ini pasti lo kan waktu masih SMA?"

"Hoax dari mana, bung? Itu orang pakek seragam SMU Harapan Jaya. Lah gue kan bukan anak sekolah itu!"

"Iya sih. Kalo editan, kayaknya nggak mungkin. Tapi kalo bukan editan...." Ibas menggantungkan kalimatnya. Dia ragu mengatakannya pada Hendra.

"Lo sepemikiran kan sama gue? Lo ngerasa kalo orang ini ada hubungan sama gue?" tebak Hendra.

"Kalo dari cerita lo sih gue rasa lo ada hubungan sama orang ini, muka kalian tuh mirip 100%. Nggak ada bedanya sama sekali. Paling cuma kacamata lo yang bikin beda." Ibas menarik napas. "Gue saranin sih mending lo tanya langsung ke bonyok. Daripada lo mati penasaran."

"Selain orang ini, ada lagi orang yang bikin gue penasaran."

"Siapa?"

"Cewek yang kita temui di parkiran."

"Yang mana? Yang ngelempar pala lo pake sneaker atau yang pake baju pink?"

"Yang berdiri agak jauh dari kita."

"Hah?" Ibas menerka-nerka. Mencoba mengingat apa dia juga melihat perempuan lagi selain yang dia sebutkan tadi. "Emang ada apa sama cewek itu?"

"Dia cewek yang sering datang ke mimpi gue. Ternyata ada di kampus kita."

"Oh."

Ibas hanya mengatakan itu. Tapi dua menit kemudian Ibas teringat sekelebat wajah yang dilihat dari kejauhan setelah urusan dengan cewek pelempar sepatu selesai. "SERIUSAN DIA CEWEK YANG NONGOL DI MIMPI ANEH LO? WAGELASEH ITU CEWEK MUKANYA KAYAK MAUDY AYUNDA! YANG INI PASTI HOAX LO!"

Hendra hanya bisa menyelematkan gendang telinganya dengan cara menutupi dengan kedua tangan. "Gue nggak pernah nyebarin hoax. Lo-nya aja yang kagak percaya."

"Gimana gue mau percaya? Masa iya cewek cantik masuk ke mimpi lo! Buat apa coba? Masa iya dia jodoh lo. Kalah saing dong gue!" cerocos Ibas agak panjang. Ah, dia memang mengakui kalau perempuan yang dimaksud Hendra memiliki paras cantik. Seumur-umur Ibas belum pernah melihat Hendra dekat dengan perempuan cantik. Minus Anita yang menurutnya hanya memiliki badan sintal namun wajah tidak mumpuni untuk dikatakan sebagai model.

****




After Your'e Gone [New Version - END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang