Hanabi Claudie Wijaya
Awalnya aku merasa sangat bahagia ketika Thamus mengajakku untuk pulang bersama, tetapi entah mengapa perasaanku mengatakan bahwa ada maksud lain dibalik semua ini.
Sebelum pikiranku terlalu jauh, aku langsung menepis jauh-jauh kegelisahan yang ada di hati dan pikiranku.
Kami bertemu di gerbang sekolah, dan langsung saja berangkat untuk mengelilingi kota ini.
Thamus ingin mengajakku berkeliling kota karena tidak tahu tempat tujuan kami kemana.
Di sepanjang perjalanan, aku merasa bahwa Thamus yang sekarang berbeda dengan Thamus yang dahulu masih mengejarku.
Apa mungkin setelah perjuangannya berakhir dia langsung bersikap biasa saja? Aku harap sikapnya tidak berubah.
Seakan mengerti dengan yang aku pikirkan, Thamus pun memulai pembicaraan.
"Dek, kenapa diam aja?" Dia bertanya seakan dia sudah tau segalanya.
Setelah bertanya, dia kembali fokus mengendarai sepeda motornya.
Aku bingung harus memanggilnya dengan sebutan "kamu" atau "abang" karena dia memanggilku adek.
Sebenarnya dia menganggapku sebagai pacar atau sebagai adek sih? Kalau sebagai adek, kenapa dia gak bilang aja dari awal, kenapa harus nembak segala? Kesel lah jadinya.
Aku tidak ingin memendam kekesalanku sendirian, dan aku langsung mengatakan apa yang aku rasakan padanya bahwa aku tidak suka dipanggil dengan sebutan adek. Aku ingin seperti pasangan lainnya yang saling memanggil sayang satu sama lain.
Jujur, aku bingung setelah dia mengatakan "Karena memang harusnya seperti itu." Dia mengatakan dengan sangat santai seperti tidak terjadi apa-apa.
Meskipun aku mendengar jawab itu, aku tidak melanjutkan pembicaraan kami, dan aku hanya berharap besok sikapnya akan berubah.
Aku tidak ingin mengganggu hari bahagia kami, oh tidak, bukan kami, lebih tepatnya aku, karena hanya aku yang bahagia sementara Thamus biasa saja.
Aku mencoba menikmati perjalanan dan melupakan sejenak kegelisahan di dalam hatiku.
Setelah cukup lama diperjalanan, kami akhirnya berhenti di sebuah rumah makan dekat dengan rumahku. Kami menemukannya saat ingin pulang ke rumah, dan kebetulan saat itu kami haus dan lapar.
Thamus yang memesan makanan sementara aku duduk di kursi untuk menunggu makanan datang.
Setelah makanan datang, aku langsung menyantap makanan, sementara Thamus masih memainkan hpnya.
Entah apa yang sedang dilakukannya aku tidak tahu sampai dia tertawa sendiri dengan hpnya dan mungkin sudah lupa bahwa aku sedang bersamanya.
"Dimakan itu makanannya, nanti nangis loh bang." Aku menuruti keinginannya untuk memanggilnya dengan sebutan abang.
"Ssstt, brisik, habiskan aja punyamu, nanti aku juga makan kok." Sedikitpun Thamus tidak melihatku saat dia berbicara dengan nada sedikit membentak.
Ingin menangis rasanya saat mendengar ucapan itu. Baru sekali ini ada yang berani membentakku, bapakku aja gak pernah membentakku, kenapa dia bisa bersikap seperti ini kepadaku.
Semoga suka dengan ceritanya ya 😊 terima kasih sudah membaca 😄
Sampai bertemu di part berikutnya 🙌 dengan rahasia-rahasia yang belum terbuka 😆
KAMU SEDANG MEMBACA
Story About Mantan (Selesai)
RomansKamu tak menyakiti, aku pun tak melukai. Kita dipaksa menyerah oleh keadaan. Dimana tak ada lagi jalan untuk saling membahagiakan, dan aku lelah untuk terus berpura-pura seakan semuanya baik-baik saja. Kita membangun komitmen diawal hubungan, dan be...