Kim Yeri tak sengaja menumpahkan segelas kopi di kemeja pelanggannya. Bosnya marah dan mengancam untuk memecatnya bila Yeri tidak mengganti rugi kemeja milik pelanggan yang menuntut kafe mereka agar segera ditutup.
Yeri menjual anaknya, Kim Sohyun...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sohyun mengangkat kepalanya yang kebas karena terus menerus menunduk. Ia merasakan matanya yang berat dan basah. Meskipun begitu, tak ada setitik niat pun untuk mengusapnya. Sohyun terlalu terpuruk dengan fakta yang baru saja diketahuinya.
Ini buruk.
Di setiap waktu, Sohyun hanya bisa menggumamkan kata yang sama. Jika ada orang yang melihat kondisinya sekarang, mereka mungkin akan panik dan dengan cepat membawanya ke Rumah Sakit Jiwa.
Ya, gadis itu terlihat berantakan. Rambutnya tidak lagi tertata rapi. Matanya sembab disertai kantung mata yang kian hari kian membesar. Raganya disana, tapi jiwanya pergi entah kemana. Ia justru terlihat seperti orang yang tidak memiliki tujuan hidup.
Bahkan dering ponsel yang berulang kali berbunyi tetap ia abaikan. Padahal volume telepon rumah Jungkook sengaja dipasang nyaring agar terdengar ke seluruh penjuru rumah.
Pikirannya berkelebat di masa-masa yang selalu membuatnya berpikir semalaman. Kematian ayahnya, perlakuan kasar ibunya, kasus pemberian hak asuhnya, kematian ibunya, hingga rasa sakit yang baru saja dirasakannya hanya karena sebuah kertas.
Undangan pernikahan Jungkook dengan wanita yang tidak dikenalnya.
Memang salah Sohyun membiarkan rasa itu tumbuh sendiri tanpa berniat menguburnya. Sohyun jelas-jelas tahu bahwa wanita ular yang sering datang ke rumah adalah tunangan Jungkook. Cincin di jarinya, dan juga perlakuan manisnya kepada Jungkook.
Ia sudah melihatnya. Jelas sekali. Tapi kenapa Sohyun tetap membiarkan perasaan itu tumbuh?
Sohyun merasa buruk sekali sekarang. Ia merasa sudah menjadi perebut tunangan orang lain. Ia mengacaukan segalanya. Sohyun memang tidak pantas hidup. Sudah seharusnya ia mati, bahkan sejak detik pertama ia lahir di dunia. Keberadaannya membawa sial. Sohyun menyesal tidak bertindak sejak dulu.
Jika ia melakukannya sejak lama, mungkin orang-orang yang disayanginya tidak akan berakhir seperti ini. Kematian dan kehancuran. Sohyun membunuh Ayah dan Ibunya, juga menghancurkan masa depan Jungkook dengan wanita ular itu.
Hei, yang seharusnya pantas dipanggil wanita ular itu adalah dirinya, bukan?
Sohyun tertawa pelan. Miris. Hidupnya memang seperti itu. Bahkan jika sedetik pun ia merasa bahagia, maka jelas sekali itu tidak pantas. Gadis sepertinya pantas mati. Semakin lama ia hidup, maka semakin banyak pula yang akan menderita.
Ia bangkit dari duduknya. Dengan langkah sempoyongan, ia bergerak mengambil pisau buah yang tergeletak di meja. Diamatinya pisau yang terlihat tajam itu. Sekali gores mungkin akan cepat mengakhiri hidupnya.