Satu bulan yang lalu...
Sejuknya angin sore menerpa kulit saat Gita melangkahkan kaki keluar dari ruang guru SMA Bima Sakti, tempatnya bekerja selama tiga tahun terakhir.Beberapa siswa yang masih berkumpul di pinggir gerbang sekolah tak urung
menyapa dan menyalami punggung tangan kanan guru yang masih melajang di usianya yang ke-28 tahun itu."Baru mau pulang, Bun?"
"Kok kalian belum pulang?" tanya Gita setelah menjawab dengan anggukan kepala.
"Baru selesai latihan basket, Bun."
Gita mengangguk kecil mendengar jawaban Bagus. Dirinya memang terbiasa dipanggil dengan sebutan Bunda oleh anak didiknya. Bahkan Sofie, mahasiswi yang sedang menjalani masa PPL* di sekolah itu ikut memanggilnya demikian. Entah siapa pencetusnya dulu.
"Woy, Bintang ditusuk...."
Pandangan semua orang beralih pada Mansyur yang datang dengan napas memburu. Mata pelajar itu membesar mendapati wali kelasnya berada di sana, membuatnya tak bisa menyudahi kata-kata.
"Bintang kenapa, Man?"
"Ng... Anu Bun.. Ehm...."
"Kalian tawuran lagi?" tanya Gita to the point.
"Kami diserang, Bun."
"Kita ke sana!"
"Naik mobil saya aja, Bun."
Gita dan Mansyur mengikuti langkah Galuh menuju mobilnya yang terparkir di halaman depan sekolah sedang para siswa lain sudah lebih dulu melaju mengendarai motor masing-masing.
"Langsung ke rumah sakit aja, Luh. Bintang udah dibawa ke sana," pinta Mansyur sebelum Galuh menjalankan mobilnya.
"Siapa yang bawa Bintang?"
"Jimmy, Bun."
Gita terdiam. Dirinya memang sering mendengar berita murid-muridnya yang ikut tawuran. Biasanya mereka semua akan berakhir di ruang Bimbingan Konseling keesokan harinya, bukan di rumah sakit seperti saat ini. Bahkan seingatnya, Bintang yang termasuk salah satu siswa teladan di sekolah tak pernah terlibat dalam gerombolan Jimmy yang memang sering keluar masuk ruang BK.
"Kami nggak tawuran, Bun. Kami diserang," ujar Mansyur mencoba membela diri.
Gita hanya menoleh tanpa benar-benar menghadap jok belakang, tempat Mansyur duduk. Tak akan ada gunanya bila ia mengomel sepanjang jalan, memberikan pengertian tentang betapa bahayanya tawuran pelajar. Toh, setiap bertemu di ruang BK, Nina —guru bagian konseling— tak pernah putus mengingatkan hal itu. Nyatanya, Jimmy dan teman-teman masih saja melakukannya.
Gita juga tak langsung men-judge Jimmy sebagai penyebab insiden kali ini. Dirinya belum tahu jelas kronologis kejadian. Lagi pula kalau didengar dari nada ucapan Mansyur barusan, remaja tanggung itu terdengar menyesal.
"Bintang ikut gank Jimmy?" tanya Gita akhirnya.
"Dia cuma korban, Bun. Jimmy juga nggak tau dia ada di lokasi."
Satu hal yang dikhawatirkan Gita, sepertinya permasalahan kali ini akan berbuntut sangat panjang.
💝
Gita melangkahkan kaki menuju ruang IGD. Beberapa siswa yang tadi berkumpul di sekolah, terlihat berkumpul di ruang tunggu. Begitu pula dengan Jimmy yang terus menundukkan kepala tanpa menanggapi sekitarnya."Jimmy," panggil Gita membuat siswa itu sedikit tersentak namun tak juga mengangkat wajahnya.
Gita mengambil posisi duduk di sisi Jimmy. Mengusap bahu tegang remaja itu, mencoba menenangkan. Para siswa yang sejak tadi bercerita tentang insiden yang terjadi seketika terdiam dan menatap iba pada Jimmy.
"Bintang pasti baik-baik saja."
Jimmy menggeleng lemah.
"Harusnya saya yang kena, Bun," ujar Jimmy berbisik, "saya nggak tau dia di belakang saya."
Gita semakin menguatkan usapannya. Walau tak melihat, dirinya tahu wajah Jimmy juga terluka tapi remaja itu tak peduli pada keadaannya.
"Kamu...."
"Dasar anak kurang ajar!!"
"Mas!"
"Jimmy!!"
Gita tersentak di tempat saat tubuh Jimmy ditarik paksa dan dihempas ke dinding ruangan dengan keras. Seorang pria yang dikenalnya sebagai ayah dari Bintang menyerang remaja itu membabi buta. Sementara seorang wanita yang tak lain adalah ibunya Jimmy hanya sanggup memanggil nama putranya berkali-kali sambil menangis.
Jimmy tak melawan, pasrah menerima setiap serangan dan sumpah serapah yang tertuju padanya. Koridor rumah sakit mendadak ramai namun tak seorang pun yang berani melerai. Sementara ibu Jimmy terus menahan isaknya.
Geram dengan perkelahian tak imbang di depannya, sekuat tenaga Gita menarik lengan kokoh itu hingga menjauh, tak peduli dengan sumpah serapah yang kini tertuju untuknya. Satu serangan mendadak dari tinju Gita membuat lelaki itu terdiam walau dari matanya terlihat amarah yang membara.
"Apa!? Mau bales!? Nih bales, silakan!!" tantang Gita seraya menunjuk pipinya, membuat ayah Bintang semakin mengeraskan rahang.
"Saya tau Anda marah, tapi nggak harus pake kekerasan juga! Saya yakin Jimmy nggak bermaksud mencelakai anak Anda. Saya yakin Bintang juga nggak akan suka kalau ayahnya main tangan sama temannya."
"Teman? Siapa yang Anda maksud teman?!"
"Jimmy dan Bintang, tentu saja. Mereka...."
"Anda ini siapa sih?"
Gita tertegun sesaat. Wajar memang bila wali muridnya ini tak mengenal dirinya. Mereka hanya pernah bertemu saat pembagian raport, itu pun saat Bintang masih kelas X. Berbeda dengan ibu Jimmy yang hampir bertemu paling tidak seminggu sekali.
"Saya Anggita. Wali kelas Jimmy."
"Huh! Pantas saja pelajar sekarang suka tawuran. Gurunya saja perilakunya bar-bar begini!"
What the...
"Tolong jaga untuk ucapan Anda. Saya kasar karena Anda juga bersikap kasar terhadap anak didik saya. Bahkan tonjokan saya masih belum ada apa-apanya dibanding apa yang telah Anda lakukan terhadap Jimmy."
Gita melangkahkan kaki kembali ke ruang IGD. Hanya terlihat ibunya Jimmy di sana. Mungkin anak didiknya yang lain sudah pulang mengingat hari memang sudah sore.
"Jimmy mana, Bu?" tanya Gita pelan.
"Sedang diobati perawat."
Gita mengangguk pelan. Pandangannya berganti antara pintu ruang IGD yang masih tertutup dan koridor yang dilewatinya tadi. Sepertinya ayahnya Bintang tak kembali lagi.
"Saya minta maaf atas sikap suami saya, Bu Gita."
Gita menoleh pada ibu Jimmy yang terlihat lelah.
Suami??
"Dia memang selalu kasar terhadap Jimmy."
"Bapak-bapak tadi? Bukannya itu orangtua Bintang?"
Ibu Jimmy tersenyum kecut lalu mengalihkan matanya pada pintu ruang IGD dan tak lagi buka suara.
💝Tbc
*PPL = Program Pengalaman Lapangan
Lha, terus itu gimana??
Jimmy itu anak siapa??
Ditunggu ⭐ dan komentar ya 😊
Bangka, 19.11.18
Dwi Marliza
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovephobia (Sudah Terbit)
RomanceCover cantik by Milly_W Cover cetak by Tia Oktiva Anggita tak pernah menuliskan kata 'pacaran', 'tunangan' apalagi 'menikah' dalam kamus hidupnya. Gita tak ingin berurusan dengan hal apapun yang bersangkutan dengan sang ayah, termasuk menikah. Tuju...