Dua Puluh

6.6K 1K 84
                                    

Sebenarnya aku masih nunggu sampai target bab sebelumnya tercapai. Tapi karena aku sayang banget ama kalian yang udah kasih apresiasi buat Pak Dokter, makanya aku update hari ini.

Aku juga mau sedikit kasih penjelasan kenapa di bab kemaren aku minta 500 vote buat lanjut.

Jadi gini ya...

Aku lihat pembaca setiap bab cerita ini berkisar antara 800-1000. Jadi kayaknya wajar kalo aku minta apresiasi -di sini dalam bentuk vote ya- setengah dari pembaca yang ada. Ya anggap aja bayaran atas cerita ini. Biar aku makin semangat juga lanjutinnya hehehe...

Udah ah curhatnya...

Sayang kalian... 😘😘


💝


"Hot chocolate?"

Gita menoleh pada Alex yang mengulurkan secangkir minuman. Hanya tersisa mereka. Sheila sudah langsung meringkuk di ranjang begitu masuk kamar. Sementara Gita yang tetap tak bisa tidur walau sudah berulang kali menghitung domba atau menghitung mundur dari angka seratus, memutuskan untuk menikmati kesejukan malam yang sulit didapat di ibukota dari teras lantai dua villa.

"Aman kok, belum saya kasih racun," goda Alex melihat keraguan di wajah Gita yang seketika merebut cangkir dari tangannya.

Oke, sepertinya Gita sudah bisa menumpahkan kekesalan yang dipendamnya sejak sore tadi sekarang.

"Harusnya kasih tau saya dulu kalau ngajak pergi. Kalau ada apa-apa di jalan siapa yang tanggung jawab? Dua nyawa lho, eh tiga, empat ding sama Pak Lana. Situ mah enak nanggung nyawa sendiri."

"Kan Ibu yang nolak pergi bareng saya. Masih ada kelas, katanya."

"Bukannya Bapak yang ... Eh, siapa yang bilang kayak gitu?"

"Claudia."

Gita berdecak kesal. Ternyata biang onarnya si cerewet Claudia. Pantas saja gadis kecil itu tak berdiam sepanjang perjalanan. Terlalu bersemangat rupanya.

"Eh, di chat Ibu juga bilang gitu kok."

"Saya nggak pernah bilang gitu."

"Masa sih?"

Gita merogoh saku baju piyamanya untuk menunjukkan bukti chattingnya. Begitupun Alex.

"Tunggu." pinta Alex saat tak mendapati barang yang dicarinya.

Mengikuti kepergian Alex dengan matanya, Gita lebih dulu memeriksa ponsel. Kemarin adalah terakhir kali dirinya bertukar pesan dengan Claudia. Itupun terkirim dari nomor pengasuh gadis kecil itu. Sementara pesan terakhir dari nomor dokter itu adalah tiga hari lalu, membahas unggahan foto yang menghebohkan itu. Tidak ada pesan diterima atau terkirim setelahnya.

"Bener kok, Bu. Ini chat terakhir dikirim kemarin lho."

Keduanya bertukar ponsel. Beberapa kali Gita berdecak, mendesis atau mendengus membaca riwayat chat yang terkirim dari nomornya. Bulu halus di tengkuknya bahkan ikut meremang, geli dengan pilihan kalimat yang menurutnya nggak banget itu.

"Benar kan, Bu?" yakin Alex begitu menerima ponselnya kembali.

"Nggak bener ini. Hp saya pasti dibajak Sheila."

"Hahaha Ibu malu kali tuh, makanya dihapus gitu chattingannya."

"Ck, pake logika aja kali, Pak. Bahasa saya nggak alay lebay kayak gitu!" ketus Gita tak mau kalah.

"Iya deh iya. Itu bukan Ibu. Tapi jari Ibu yang ngetik sendiri."

"Apaan sih, nggak jelas banget!"

Lovephobia (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang