Ini aku. Alex.
Tiga kata itu membuat fokus Gita terpecah. Sejak pesan itu muncul, Gita tak lagi menyentuh benda pipihnya. Tidak saat jam istirahat ataupun di sela waktu mengajarnya. Tak peduli berapa banyak pesan dan panggilan masuk yang membuat sakunya terus bergetar, ponselnya tetap tak dijamah.
"Bunda!"
Panggilan dari dalam mushola membuat langkah Gita yang baru akan meninggalkan tempat ibadah itu tertahan. Hanya dengan mengetahui wajah si pemanggil guru itu sudah tahu apa yang akan menjadi topik bahasannya kali ini.
"Ya?"
"Sejak kapan Bunda pacaran sama orang itu?"
Gita tersenyum. Cemara memang termasuk murid yang blak-blakan dalam berbicara. Kalau biasanya murid akan lebih menjaga tutur bahasanya bila di depan guru, jangan harapkan itu akan dilakukan oleh seorang Cemara. Tak peduli dengan siapa dirinya berhadapan, gadis itu tetap menjadi dirinya sendiri.
"Bunda---"
"Saya rasa saya nggak harus jawab pertanyaan kamu."
"Kenapa nggak? Takut ketauan bohongnya?"
Gita tersenyum makin lebar. Dua pertanyaan yang sama dalam satu hari. Apa kebohongannya semudah itu ditebak?
"Nggak ada yang lebih baik dan cocok sama Bunda selain Ayah Wahyu. Lagian apa yang kurang dari Ayah? Ibadahnya rajin, baik, berduit pula. Kalau masalah cinta sih nggak usah diragukan lagi. Kurang cinta apa dicuekin bertahun-tahun masih tetap ngejar. Apa coba yang kurang?"
Gita membuka mulut namun kembali menutupnya. Terlalu banyak murid yang berada di sekitarnya sekarang. Sekalipun jaraknya beragam, dirinya yakin mereka akan mencuri dengar. Atau mungkin akan ada banyak kamera tersembunyi yang sedang merekam percakapan mereka. Memperpanjang pembahasan bukan hal yang bagus untuk saat ini.
"Kamu terlalu banyak ikut campur, Cemara. Lebih baik gunakan waktu kamu untuk fokus belajar. Sebentar lagi ujian."
Kalimat akhir Gita membuat Cemara mendengus. Sudut bibir kanannya mencebik dengan alis mata naik sebelah. Jelas tak puas dengan jawaban gurunya yang berlalu begitu saja.
Bukan hanya Wahyu dan Cemara, kini hampir semua guru memandangnya penuh tanya saat sebuah nasi kotak dan sebuket bunga mawar tergeletak manis di mejanya.
"Bun, ada kiriman tuh dari Pak Dokter," ujar Sofie dari mejanya yang berada di barisan seberang.
Gita menarik secarik kertas yang terselip di bunganya.
Besok-besok saya izin dulu deh kalau mau chat, biar ibu nggak kaget ^^
Selamat makan siang
- A -
Gita berdecih pelan membaca tulisan tangan Alex. Eh, benarkah ini tulisan pria itu? Ini terlalu rapi untuk tulisan dokter yang kebanyakan seperti cakar ayam, setidaknya itulah yang biasa dilihat Gita saat menerima resep dokter."Jadi calon suaminya dokter nih, Bu? Di rumah sakit mana?" tanya Siska, guru akuntansi sekaligus infotainment berjalan.
"Saya kira itu cuma gosip anak-anak aja," tambah Zaenab, guru Agama yang tahun depan akan pensiun.
"Wah, berat dong saingan Pak Wahyu, dokter gitu lho."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovephobia (Sudah Terbit)
RomanceCover cantik by Milly_W Cover cetak by Tia Oktiva Anggita tak pernah menuliskan kata 'pacaran', 'tunangan' apalagi 'menikah' dalam kamus hidupnya. Gita tak ingin berurusan dengan hal apapun yang bersangkutan dengan sang ayah, termasuk menikah. Tuju...