Delapan Belas

5.8K 833 43
                                    


Spesial update tengah malem buat yang gak bisa tidur 😁😁

Tetap tinggalin jejak yaaa....

Sayang kaliannn😙😙😚

 
💝

 

"Telat, Bu," kekeh Alex yang berhasil mendengar pesan suara yang dikirimkan Gita sebelum dihapus oleh si pengirim.

Sengaja Alex membalas pesan itu dengan cara yang sama. Dapat dia bayangkan reaksi sang guru saat memutar pesan suaranya. Sayangnya Alex tidak punya pintu ke mana saja milik Doraemon yang bisa membawanya ke tempat gadis itu dalam sekejap mata untuk menyaksikan secara langsung wajah menggemaskan itu.

Suara ketukan pintu mengalihkan atensi Alex. Belum sempat menyuarakan perintah, pintu ruangannya terbuka dan menampilkan sosok Gladis.

"Hai!"

Alex membalas sapaan itu dengan senyuman tipis. Jujur saja hatinya masih belum bisa memaafkan kesalahan fatal yang dibuat gadis cantik itu. Terlebih pengakuan mengejutkan yang membuatnya merasa tertampar, yang bahkan belum terhitung dua puluh empat jam didengarnya. Namun mengingat ada nyawa tak bersalah yang sedang tumbuh di rahim gadis itu membuatnya sedikit merasa iba.

Menguatkan cengkeraman pada ponsel, Alex berusaha menetralkan pikirannya.

"Check up?"  tanyanya tak yakin.

Terakhir kali bertemu Gladis di rumah sakit adalah saat dia meninggalkan gadis itu ke kafetaria. Lagipula jika memeriksakan kandungannya di rumah sakit ini salah satu obygin pasti akan memberitahukannya. Dan sudah pasti berita itu akan menggegerkan, karena sebagian besar pegawai di sana mengetahui dengan jelas hubungan mereka.

"Kebetulan lewat."

Alex mengangguk walau masih tak yakin. Seingatnya, tak pernah ada kata kebetulan bagi gadis itu. Selalu ada alasan untuk semua yang terjadi. Tapi siapa yang tahu jika pemikirannya kini berubah.

Mata Alex terpaku pada sepatu lancip yang tingginya dia perkirakan lebih dari sepuluh sentimeter, menopang tubuh Gladis yang masih berdiri di dekat pintu. Dihembuskan napasnya kasar.

"Sepatu kamu itu berbahaya."

"Ya ampun, aku lupa ganti. Abis aku excited banget mau ketemu kamu."

"Pelan-pelan, Gladis!" desis Alex risih bahkan hingga berdiri dari kursinya dan menghampiri Gladis saat gadis itu tersandung kakinya sendiri.

"Hehehe maaf, Pak dokter."

Alex mendengus kasar. Kembali pada kursinya setelah memastikan gadis hamil itu duduk dengan nyaman.

"Tebak aku punya berita apa."

"Kamu sudah tau siapa ayah janin itu."

"Ih, bukan! Itu sih nggak penting!"

"Itu penting. Anak itu perlu tau---"

"Aku baru aja tekan kontrak untuk jadi model di Paris!"

Tatapan tajam Alex tak dipedulikan Gladis yang masih berceloteh tentang deretan kegiatan yang akan dilakukannya selama menjadi model di Paris. Jika tak mengingat tempat yang sedang dipijaknya, sudah dipastikan Alex akan mengamuk lebih dari sebelumnya.

Nggak penting, katanya?

Ck!!

"Gladis."

"Ya?"

Ocehan Gladis terhenti dengan mata membulat yang mengarah tepat pada Alex.

"Keluargamu tau?"

Gladis tersenyum, menutupi getir di wajah lelahnya.

"Kamu nggak bisa menyembunyikan masalah ini selamanya. Dia akan terus tumbuh dan berkembang di dalam sana. Kamu nggak bisa terus bekerja dengan kondisi seperti itu. Kamu butuh seseorang untuk menjaga kalian. Menjadi penopang kalian di masa depan."

"Udah aku bilang kan, aku cuma mau kamu."

"Kita sudah berakhir. Aku dan kamu udah nggak bisa jadi kita. Ada yang lebih berhak atas diri kamu sekarang. Biarkan orang itu bertanggung jawab atas kalian. Sebelum semuanya terlambat dan keadaan semakin runyam."

"Sebegitu mudahnya kamu ngelepas aku untuk orang lain? Seenggak berarti itukah aku buat kamu?"

Gurat kekecewaan tercetak jelas di wajah cantik penuh makeup itu. Tapi Alex tak terpengaruh. Dia sudah lebih dulu merasa kecewa pada gadis itu.

"Apa karena perempuan itu?"

Sebelah alis Alex terangkat. Hanya sepersekian detik sebelum sudut bibirnya terangkat sedikit saat mengerti maksud Gladis.

"Banyak yang mention-in aku kiriman kamu."

Yap, seperti yang dugaan Alex. Lagi-lagi tentang foto postingan di akun Instagramnya.

"Aku nggak tau kamu bisa move on secepat itu. Atau ... selama ini aku emang nggak pernah berarti buat kamu?"

"Kamu jelas tau gimana perasaan aku ke kamu. Dulu. Aku cuma beruntung bisa ngobatin hati aku lebih cepat walau belum sepenuhnya. Jadi kamu nggak perlu bikin drama seolah kamu yang paling tersakiti di sini."

"Aku udah jelasin---"

"Penjelasan itu nggak bisa dijadikan pembenaran atas tindakan kamu. Boleh aku jujur?" tanya Alex yang tak  membutuhkan jawaban. Dia hanya ingin menyampaikan isi hatinya. "Sebenarnya bisa aja kamu terus terang saat nggak merasa nyaman dengan perlakuanku. Dulu. Sayangnya kamu memilih untuk diam dan bertindak tanpa memikirkan akibatnya. Aku sangat kecewa. Juga pada diri sendiri. Karena nggak bisa menjaga kamu dengan baik."

"Kalau gitu kita ulangi semuanya dari awal."

"Sekalipun diulang, keadaannya sudah nggak sama lagi."

"Karena kandunganku atau perempuan sialan itu?"

Alex menghela napas pelan. Sepertinya perdebatan mereka tak akan menemui titik terang. Gladis tetap Gladis, gadis paling keras kepala yang pernah dikenal Alex.

"Kamu tinggalin perempuan itu dan aku akan gugurin anak---"

"Cukup, Gladis!" bentak Alex terkejut.

"Nggak, Alex. Aku nggak akan merasa cukup sebelum kamu balik ke aku!"

Mata Alex menatap tajam pada Gladis yang masih tersenyum memandangnya dengan tatapan tak terbaca. Desahan berat gadis itu memecahkan keheningan sebelum beranjak dari duduknya. Merapikan sejenak kardigan tebal yang menutupi dressnya.

"Tadinya aku mau ajak kamu makan siang. Tapi kayaknya kondisi nggak mendukung. Mungkin lain kali?"

"Nggak akan ada lain kali sebelum kamu tunjukkan ayah janin itu!" tegas Alex yang sengaja membukakan pintu ruangannya agar perempuan itu cepat berlalu.

"Sayang kam...."

Alex melengos menghindari Gladis yang ingin memeluknya. Menahan diri untuk tetap membelakangi pintu sebelum benar-benar yakin hanya tersisa dirinya di sana.

Berpegangan pada pinggir meja dipejamkan matanya selama beberapa detik. Pijatan di pelipis dirasa cukup untuk mengurangi sakit kepalanya. Rileksasinya sedikit terganggu oleh ketukan pintu.
Api itu hanya sesaat karena senyumnya seketika merekah mendapati dua gadis berbeda usia berdiri di pintunya.

"Hai, Sheila. Masuklah."

 
💝

 
Tbc

 

Aku mau minta maaf sama semuanya... Hp aku rusak. Mati total dan mesti masuk museum. Makanya Minggu kemarin aku gak bisa update.

Ni aku baru download wp di hp misua. Keingetan ama kalian yang mungkin nungguin cerita ini.

Eh pada nungguin gak sih??

Wkwkwk..

Bangka, 24.06.19
Dwi Marliza

Lovephobia (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang