Arloji di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul tiga lebih dua puluh menit saat Gita baru selesai menyusun kembali lembaran jawaban hasil ulangan harian milik kelas XII IPA 1 di mejanya. Ruang guru terlihat sepi, hanya tinggal dirinya dan Sofie yang asyik menekuni ponsel."Nggak dijemput?" tanya Gita beranjak dari bangkunya.
Sofie ikut berdiri dan memasukkan ponsel ke dalam saku. "Jalan yuk, Bun."
"Ck! Pasti berantem lagi."
Sofie tersenyum lebar, menampilkan barisan giginya. Digapitnya lengan Gita seraya melangkahkan kaki keluar dari ruang guru. Keduanya sesekali membiarkan murid-murid yang masih berkeliaran di area sekolah menyalami tangan mereka.
"Bun, salah nggak kalau aku cemburu sama mantan dia?"
Gita tersenyum tipis. Sepertinya sesi curhat siang menjelang sore hari ini baru saja dimulai. "Tergantung alasan kamu."
"Aku tuh nggak ngerti deh jalan pikiran cowok, Bun. Dia larang aku deket sama cowok lain, tapi dia deket banget sama mantannya. Banyak temen aku yang bilang kalau dia sering jalan bareng sama mantannya itu. Setiap aku tanya katanya karena nggak sengaja ketemu di jalan. Terus waktu aku tanya-tanya lagi ujungnya pasti ribut. Pusing aku tuh, Bun. "
Gita melirik beberapa kali pada Sofie, lalu menggeleng kepala melihat ekspresi wajah wanita muda di sampingnya yang menahan kesal.
"Kenapa nggak udahan aja?"
"Aku sayang dia, Bun."
"Sayang kalau nyakitin buat apa, Sofie? Kamu masih muda, perjalanan kamu masih panjang, karir juga baru mau dimulai. Cuma gara-gara satu cowok kamu jadi senewen gini? Hello, girl! Masih banyak cowok di dunia ini. Nggak usah takut kehabisan stok. Sekarang mending kamu fokus selesaikan kuliah, kerja, bikin bangga orangtua. Jodoh bakal dateng...."
"Ibu Anggita?"
Pandangan Gita dan Sofie beralih pada seorang pria yang berjalan ke arah mereka dengan sebuket bunga mawar merah di tangan.
"Ganteng, Bun," bisik Sofie yang membuat Gita menyikutnya pelan.
"Ya. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Gita sopan.
"Menikahlah denganku."
Eh??
Gita mengerjapkan mata lalu menyipitkannya, mengamati pria itu. Wajah indo dengan manik mata berwarna biru terang, kemeja putih dengan bagian lengan dilipat hampir sebatas siku yang menutupi badan tegapnya, celana panjang bahan berwarna biru dongker menutupi kaki jenjangnya yang beralaskan sepatu hitam mengkilat. Tak ada yang aneh dengan penampilannya.
Mata Gita kembali pada buket mawar yang terulur padanya. Sebuah kotak kecil berisi cincin tersimpan rapi di tengah mekaran bunga-bunga.
Gita tersenyum tipis, melirik pada Sofie yang membatu di sampingnya dan sebagian murid yang tertarik dengan tontonan langka yang sedang berlangsung di depan mereka.
"Maaf, Anda siapa?"
Pria itu mengulurkan tangan kanannya pada Gita, gerakan kecil yang mampu menyadarkan Sofie.
"Alexander Daniel Evers. Cukup panggil Alex, tanpa embel-embel 'Bapak'. Usia kita tidak beda jauh."
Lagi, Gita tersenyum tipis. Sepertinya pria itu yakin sekali dengan perbedaan usia mereka. Diusap tengkuknya yang terasa sedikit pegal karena terus mendongak untuk bisa membaca ekspresi wajah pria yang lebih tinggi darinya. Bahkan puncak kepala Gita saja hanya sebatas dadanya.
"Maaf, Bapak Alexander Daniel Evers YANG TERHORMAT. Saya yakin saya TIDAK PERNAH BERTEMU dengan Anda, TIDAK PERNAH MENGENAL Anda, dan TIDAK PERNAH BERURUSAN dengan Anda," ujar Gita sengaja menekan beberapa penggal kata untuk menegaskan ucapannya. "Jadi saya rasa Anda salah orang. Permisi."
"Bunda," tegur Sofie berbisik, menahan langkah Gita.
"Apa? Saya emang nggak kenal dia kok."
"Makanya kenalan, Bun."
"Nggak penting, Sofie."
Kekehan kecil Alex menyadarkan Gita dan Sofie dari acara bisik-berbisik mereka. Gita mulai mengintimidasi lewat tatapannya, sementara Sofie tersenyum malu-malu sambil memberikan kode untuk tetap tenang pada Gita.
"Maaf sebelumnya, kita memang belum pernah bertatap muka langsung, tapi saya sering melihat Ibu...."
"Anda nguntit saya?!" potong Gita dengan suara sedikit meninggi.
"Bunda."
Alex berdehem pelan, mengontrol wajah dan suaranya agar tetap stabil.
"Ibu datang ke tempat kerja saya berkali-kali, bukan salah saya kan kalau lebih dulu lihat Ibu?"
Gita memicingkan mata, masih terus mengintimidasi.
"Maaf, Pak," Sofie menginterupsi, "kalau boleh tahu, Bapak bekerja di mana?"
"Rumah sakit."
Tatapan intimidasi Gita hilang dalam seketika. Beberapa kali matanya mengerjap dan menghindari tatapan dua manusia di dekatnya.
"Saya rasa Ibu guru sudah ingat. Bukan begitu, Bu?"
💝
Hai guysss.....
Gue hadir bawa cerita baru nih wkwkwk...
Cerita tentang Ibu guru Gita dan Pak dokter Alex. Boleh coba di baca ya.
Jangan lupa tinggalkan komentar dan klik bintang di pojokan ituu 😂..Oh ya, gue ngikutin cerita ini buat kompetisi #GrasindoStoryInc. Pengen coba aja ikut kompetisi gitu. Wkwkwk mohon dukungannya ya..
Terimakasih ^^
Bangka, 15.11.18Dwi Marliza
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovephobia (Sudah Terbit)
RomanceCover cantik by Milly_W Cover cetak by Tia Oktiva Anggita tak pernah menuliskan kata 'pacaran', 'tunangan' apalagi 'menikah' dalam kamus hidupnya. Gita tak ingin berurusan dengan hal apapun yang bersangkutan dengan sang ayah, termasuk menikah. Tuju...