Dua Puluh Satu

5.9K 889 67
                                    

Rumah Sakit Evereast

Tn. Susena Hendri

Lt. 3

VIP 1 Anyelir


 
Keesokan harinya setelah mengantar kepulangan Sheila, Gita menemukan secarik post it menempel di pintu  kulkasnya. Menurut dugaan, kertas itu sengaja ditinggalkan Sheila untuknya. Namun hingga terlewat satu minggu, kertas itu masih berada di tempatnya tanpa pernah Gita sentuh.

Katakanlah Gita anak durhaka karena mengabaikan orang tua. Tapi mengingat betapa sakit hatinya saat lelaki yang seharusnya menjadi pelindung dan penopang hidup keluarga pergi begitu saja, rasanya perlakuan Gita ini belum berarti apa-apa. Lagipula Gita sendiri takut tak bisa menahan diri untuk tak melakukan hal keji lainnya jika suatu saat berhadapan langsung dengan lelaki yang meninggalkannya sejak usia delapan tahun itu. Jadi bukankah lebih baik mengabaikannya?

 
💝

 
Nyatanya pengabaian Gita hanya bertahan sesaat. Rasa penasaran yang menguasai hatinya menuntut Gita untuk melihat sendiri penderitaan lelaki itu.

Karena itulah Gita di sini. Menahan degup jantung yang berdetak lebih cepat sementara kakinya terus melangkah. Meniti satu per satu anak tangga darurat, mengabaikan keberadaan lift yang bisa membawanya berpuluh kali lebih cepat untuk mencapai kamar rawat tujuannya.  Beberapa kali napas beratnya ikut berhembus, bersamaan dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi benaknya.

Sanggupkah dia bertemu orang yang selama ini dibencinya? Apa yang akan dilakukannya setelah mereka bertemu nanti? Bagaimana jika dia masih memiliki hasrat untuk melenyapkan orang itu, seperti yang sejak dulu -bahkan hingga berpuluh menit sebelumnya- dipikirkannya?

Netranya menatap lurus tulisan 'VIP 1 Anyelir' yang menempel di pintu kamar tujuannya. Tubuhnya berdiri tegak menahan gejolak dalam dada sebelum menghela napas lebih dalam. Pelan, tangannya meraih gagang pintu. Menekan sesaat lalu mendorong benda persegi panjang itu hingga terbuka. Setengah memaksa kakinya untuk melangkah lebih dalam.

Titik pandangnya terarah pada ranjang pasien. Lebih tepatnya pada sesosok pria yang tergeletak di atas brangkar. Gurat lelah jelas terlihat di wajah yang masih bisa dibilang tampan walau sudah tak lagi muda itu. Kulitnya lebih gelap, tak lagi putih kekuningan seperti yang dulu diingat Gita. Otot-otot kekarnya pun terlihat tak lagi padat.

Dalam keheningan Gita terus memperhatikan pria tua yang tengah terlelap itu. Kuku-kuku yang bersembunyi dalam kepalannya sejak masuk ruangan semakin dalam menghujam telapak tangan kala berbagai pertanyaan baru mengisi otaknya.

Bagaimana kehidupan lelaki itu selama dua puluh tahun ini? Setelah meninggalkan keluarganya? Berapa banyak anak yang dimilikinya, yang  menjadi adik tirinya? Adakah ... Pernahkah —sedikit saja— terbersit rasa rindu untuknya? Untuk keluarganya?

Menahan cairan bening yang mulai menggenangi mata, Gita mengalihkan pandang. Kamar yang sangat luas untuk ditempati oleh satu pasien itu terasa sangat dingin. Tak ada barang tambahan berarti selain sebuah bangku kosong yang enggan didudukinya dan sebuah meja dengan dua botol sedang air mineral kemasan dan remote televisi di pinggir ranjang. Serta satu sofabed yang sepertinya tak pernah tersentuh dipojok ruangan. Jelas terlihat tak ada siapapun di dalam sana selain tubuh lemah itu.

Di mana keluarga barunya? Istri dan anak-anaknya? Tak adakah yang menemaninya?

Netra Gita kembali pada wajah lelah itu. Inikah kehidupan yang selama ini dialami lelaki itu setelah meninggalkan keluarganya? Sepi dan sendiri?

Lovephobia (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang