Sudah dua minggu sejak hari pertama menemukan setangkai bunga mawar merah dan sebatang coklat di atas mejanya, Gita belum bisa berbicara secara personal dengan Wahyu. Guru olahraga itu seperti menghindarinya, berada di ruang guru jika ruangan itu dipenuhi rekan guru lain dan akan menghilang bila sudah memasuki waktu KBM sekalipun tak ada jam mengajar.Belum selesai masalahnya dengan Wahyu, kepala Gita terasa ingin pecah saat menerima kiriman seratus kotak nasi makan siang dari Alex yang langsung dibagikan kepada semua rekan guru hingga jejeran staf Tata Usaha dan kepala sekolah. Bahkan beberapa kotak yang masih tersisa dibagikan acak.
"Pinter banget pilih calon sih, Bu Gita. Udah ganteng, mapan, baik pula."
"Paket komplit banget ya, Bu."
"Iya. Idaman banget lah itu."
"Wah, Pak Wahyu beneran kalah saing dong kalo kayak gini."
Gita berusaha tak menggubris pujian untuk 'calon suami'-nya yang dilontarkan beberapa rekan guru. Selesai membagikan kiriman dadakannya, Gita menjauh dari ruang guru untuk menghubungi Alex, tapi hingga panggilan kelima dokter itu tak juga menjawab panggilannya. Menghela napas kasar, Gita memutuskan untuk mengirim rentetan chat pada Alex.
"Sesibuk itu calon suami kamu, sampai nggak bisa angkat telepon saat makan siang?"
Sambil memejamkan mata Gita menghembuskan napas pelan, sebelum berbalik badan dan mendapati Wahyu bersandar di tembok belakangnya. Gita menatap lurus pada Wahyu yang masih menyunggingkan senyumnya. Menarik napas panjang begitu jarak diantara mereka tersisa satu meter.
"Tidak bisakah Anda hentikan semua ini? Jujur saja, saya sangat lelah."
"Menyerah, Gita. Kamu cukup menyerah dan kasih aku kesempatan untuk---"
"Sekalipun saya menyerah Anda tidak pernah ada dalam daftar pilihan saya. Jadi berhentilah mulai dari sekarang."
"Git---"
"Sekalipun pada akhirnya saya tidak bersama dia atau siapapun posisi Anda tidak akan pernah berubah. Berhentilah. Saya mohon."
Tangan Wahyu yang baru saja ingin mengusap rambut Gita melayang di udara saat gadis di depannya menundukkan kepala dengan menyatukan kedua telapak tangannya. Matanya menatap tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Gadis itu menyerah untuk diperjuangkan. Menyerah tanpa memberinya kesempatan.
Sejenak Wahyu mengeraskan rahang tanpa memalingkan mata. Dadanya terasa sesak membuatnya sedikit kesulitan untuk bernapas.
"Aku nggak akan berhenti. Sebelum kamu resmi menjadi milik orang lain, aku akan terus berusaha. Sekalipun kamu menolak untuk aku perjuangkan. Aku hanya kasih kamu waktu untuk beristirahat. Setelah waktu itu habis persiapkan diri kamu untuk terima aku."
Gita menggigit bibir kuat-kuat, menahan agar tak ada suara yang terucap. Tak peduli rasa asin yang diakibatkan dari tindakannya itu. Wajahnya masih tertunduk, menyembunyikan genangan air yang membasahi mata. Dadanya terasa amat sesak saat lelaki itu melangkah pergi.
Penyesalan sedang menyelimutinya kini. Penyesalan akan sikap keras kepala Wahyu yang membuatnya merasa bersalah karena waktu pria baik itu akan terbuang percuma hanya untuk dirinya.
Getar ponsel membuat Gita menarik napas panjang untuk kesekian kalinya sebelum menjawab panggilan tanpa melihat nama yang tertera di layarnya. Hanya satu orang yang akan menghubunginya saat ini. Seseorang yang dia yakini sedang tersenyum membayangkan keterkejutan dirinya akan kiriman seratus kotak makan siang. Seseorang bernama Alexander Daniel Evers.
"Saya sudah terima kiriman Anda. Silakan kirim tagihan beserta nomor rekening Anda karena saya tidak ingin berhutang apapun pada orang lain. Terima kasih banyak atas bantuan Anda. Assalamualaikum."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovephobia (Sudah Terbit)
RomanceCover cantik by Milly_W Cover cetak by Tia Oktiva Anggita tak pernah menuliskan kata 'pacaran', 'tunangan' apalagi 'menikah' dalam kamus hidupnya. Gita tak ingin berurusan dengan hal apapun yang bersangkutan dengan sang ayah, termasuk menikah. Tuju...