Beberapa menit yang lalu Gita masih berjalan di koridor panjang menuju ruang anggrek sebelum sebuah teriakan terdengar dari sebelah kiri. Gita yang tak sempat menghindar ketika sebuah kursi roda berkecepatan tinggi menabraknya jatuh tersungkur menimpa dua pot berukuran sedang yang menghiasi sisi koridor lalu disusul suara benda beradu cukup keras.Gita terkejut melihat seorang anak perempuan jatuh tertimpa kursi roda di sisi lain koridor. Dengan langkah tertatih, Gita mendekati gadis kecil itu, menyingkirkan kursi roda lalu membantunya berdiri. Dilihat dari pakaiannya, gadis itu bukan pasien rumah sakit. Lalu bagaimana bisa dia bermain dengan alat bantu itu?
"I'm so sorry. I ...."
"Hei, it's ok. I'm fine," ujar Gita seraya berjongkok, menyamai tinggi gadis kecil yang kini menunduk di depannya.
"Aku ... aku ...."
Gita membuang beberapa daun kering yang terselip di rambut anak kecil itu. Dengan pelan, Gita mengusap tanah dan kotoran-kotoran yang menempel di pakaian gadis kecil itu, dari atas sampai bawah.
"Awww," ringis gadis itu saat Gita tak sengaja menyentuh sikunya. Pelan Gita meneliti lebih cermat.
"Tanganmu terluka, kita obat...."
"No! Ayah akan lebih marah padaku nanti."
Gita tersenyum geli. Gadis di depannya semakin terlihat menarik dengan logat asing dalam pengucapan bahasa Indonesianya.
"Paling tidak biarkan luka itu...."
"Claudia!"
Gita terkejut saat sebuah tarikan kasar membuat gadis itu terlepas dari pegangan. Kedua alisnya terangkat mengamati sosok wanita cantik yang berdiri di depannya, membuatnya merasa sedikit terintimidasi karena wanita itu jauh lebih tinggi darinya sekali pun tak mengenakan heels. Apalagi tatapan sinis yang terpancar di matanya.
"Kamu apain anak saya?!"
"Eh?"
"I'm not your daughter, Tante."
"Not for long time, Claudia."
Mata wanita itu kembali pada Gita yang tersenyum tipis melihat interaksi singkatnya.
"Kamu komplotan penculik anak ya?"
"What?!"
Gita melongok mendengar tuduhan tak mendasar tertuju padanya, sementara gadis kecil yang ditahan di belakang wanita itu tergelak cukup keras. Sambil menggeleng pelan, Gita menuju kantong bawaannya yang tadi ikut terjatuh. Untung saja isinya tak ikut berserakan.
"Are you ok, Kak?"
Gita tersenyum mendengar panggilan gadis itu padanya, padahal Gita yakin usianya dengan wanita yang dipanggil 'Tante' itu tak jauh berbeda. Anggukan kepala dijadikan jawabannya.
"Namamu Claudia?"
Gadis kecil itu mengangguk.
"Jangan lupa obati lukamu."
Claudia mengangguk lemah.
"Tolong semangati ayahmu. Saya rasa beliau akan kesulitan menghadapi 'Tante'mu itu."
"Yeah, I know."
"Claudia!"
Suara wanita itu terdengar lagi saat Gita mengusap rambut Claudia sebelum beranjak pergi. Masih bisa tertangkap olehnya perdebatan yang terjadi di antara mereka. Gita merasa prihatin dengan gadis kecil itu. Semoga Claudia dan ayahnya punya banyak stok kesabaran, dirinya yang bertemu sebentar saja langsung ilfeel.
Komplotan penculik anak?! Ya Allah, yang benar saja!
Apa dirinya sehina itu? Apa seragam elit yang melekat di tubuhnya kurang begitu terkenal di kalangan orang kaya? Karena setahu Gita, sekolah tempat dirinya mengajar termasuk jajaran sekolah yang diisi oleh kalangan menengah ke atas. Oh, mungkin saja wanita tadi bukan berasal dari ibukota, mungkin dari dunia lain.
Gita terkekeh pelan menyadari pemikirannya yang mendadak tak terarah. Detik berikutnya Gita menyipitkan mata melihat seorang remaja yang berdiri di depan jendela kamar rawat Bintang dengan tiang penyangga infus di sampingnya.
Gita menghentikan langkahnya. Mengamati lebih dalam sosok yang dikenalnya itu. Walau dengan jarak yang cukup jauh, Gita bisa melihat raut kesedihan di wajah penuh lebam itu. Sesekali ekspresinya datar dengan rahang mengeraskan, sesekali pula bahunya terangkat lalu turun begitu saja.
Perlahan, Gita menghela napas dan kembali melangkahkan kakinya. Sebisa mungkin dirinya mencetak senyuman termanis yang ia miliki. Entah akan berpengaruh atau tidak, Gita ingin remaja itu tahu bahwa masih ada yang peduli pada dirinya.
"Jimmy," panggil Gita membuat Jimmy tersentak dan menjauh dari jendela.
"Bunda? Ngapain di sini?"
"Jenguk kamu lah, ngapain lagi coba?"
"Jenguk Bintang?"
Gita melirik cepat ke dalam kamar inap Bintang. Hampir satu kelas anak didiknya ada di sana, begitu pula kedua orangtuanya yang tak ragu menebarkan senyum mendengar celotehan teman-teman sang putra. Pandangannya beralih pada Jimmy yang juga terarah ke dalam kamar dengan tatapan sendu.
"Bunda nggak tau kamar kamu di mana, makanya mau nanya dulu, eh pas banget kamu di sini," ujar Gita membuat Jimmy menoleh heran.
"Bunda nggak mau gabung ke dalam dulu?"
"Nggak ah, terlalu ramai. Bunda mau istirahat di ruangan kamu aja. Kaki Bunda tadi keseleo, sakit banget."
Jimmy memperhatikan kaki Gita sesaat. Tanpa berbicara, Jimmy melangkahkan kakinya pergi, membiarkan gurunya mengekori di belakang. Satu hal yang tak diketahui Jimmy, sang guru tersenyum kecut menyadari dugaannya benar; kedua anak didiknya dirawat di ruangan terpisah.
💝
Tbc
Bangka, 02.12.18
Dwi Marliza
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovephobia (Sudah Terbit)
RomanceCover cantik by Milly_W Cover cetak by Tia Oktiva Anggita tak pernah menuliskan kata 'pacaran', 'tunangan' apalagi 'menikah' dalam kamus hidupnya. Gita tak ingin berurusan dengan hal apapun yang bersangkutan dengan sang ayah, termasuk menikah. Tuju...