Sepanjang perjalanan dari tempat terakhir Gita singgah menuju entah-kemana-sang-supir-gadungan-akan-membawa-mereka, dirinya harus tetap tenang duduk di bangku depan — hasil keputusan mutlak Claudia setelah perdebatan sengit tapi singkat sebelum pergi tadi—, sementara dua bidadari di belakang asyik menjadikan dirinya objek cerita.
Gita memang sering mengatakan lebih menyukai orang yang membicarakan dirinya secara langsung daripada membicarakannya di belakang tiap kali ada rekan guru yang ketahuan membicarakannya, tapi baru kali ini ada yang benar-benar melakukan itu seolah dirinya tak ada di tengah mereka. Di belakang kemudi, Alex terlihat terus menahan tawa membuat Gita melirik sinis.
"Ketawa aja, Pak. Mumpung saya belum pungut bayaran."
Bukan hanya Alex, dua makhluk di belakang juga tertawa keras seakan memang menunggu ucapan itu keluar dari mulut Gita. Namun tubuh wanita itu kaku saat dua buah lengan kecil memeluk lehernya dari belakang.
"It's oke, Bun. Ayah bilang, perempuan itu harus pintar. Jangan sampai tertipu dengan laki-laki yang hanya bisa obral gombal dan janji. Iya kan, Yah?"
Gita menoleh sekilas pada Alex yang menyunggingkan senyum tanpa melepas mata pada jalanan dengan tangan mengusap puncak kepala Claudia yang masih menenggerkan tangan di lehernya. Perlahan Gita mengusap pelan lengan kecil itu. Kepalanya kembali menghadap jalan, bukan untuk benar-benar melihat keluar, tapi untuk mengamati supir gadungan di sampingnya.
"Ehem, kayaknya Pak Wahyu bakal sakit hati beneran nih," celetuk Sofie.
"Quote nya cocok buat kamu, Sof," balas Gita yang membuat Sofie mencebikkan bibirnya.
💝
Alex memarkirkan mobilnya di sebuah rumah makan. Gita yang bergandengan tangan dengan Claudia terlihat pasrah saat ditarik menuju sebuah meja yang bersisian dengan jendela kaca besar. Seorang pelayan mendekati mereka dengan membawa tiga buku menu.
Setelah menunggu hampir tiga puluh menit, berbagai menu seafood yang mereka pesan sudah tersedia di atas meja. Berbeda dengan porsi makan di restoran mewah yang porsi sedikit tapi harga selangit, di rumah makan itu semuanya tersaji dalam porsi besar. Gita yakini hanya dengan satu porsi kepiting pedas manis di hadapannya saja sudah cukup untuk lauk makan mereka. Namun melihat bagaimana lahapnya ketiga orang di meja itu makan, rasanya dia ragu akan ada makanan yang tersisa.
Tak sampai waktu tiga puluh menit semua makanan di meja tandas. Terakhir mereka berlomba untuk menghabiskan minuman masing-masing; Claudia dengan jus alpukatnya, Sofie dengan jeruk longannya, Gita dan Alex dengan lemon tea yang sudah hampir dingin.
"Sering-sering traktir kayak gini ya, Pak." gurau Sofie ketika Alex membawa mobilnya ke luar area parkir.
"Hahaha tergantung sama senior kamu. Kalau dia mau saya ajak ya kamu bisa ikut."
"Nggak bagus terlalu banyak makan seafood, kolesterol nanti," tukas Gita pedas.
"Ck, tenang aja, Bun. Pak dokter siap ngobatin kok. Iya nggak, Pak?"
"Sebenarnya sih lebih baik mencegah daripada mengobati."
"Denger tuh!"
"Tapi saya nggak keberatan kok kalau harus jadi dokter pribadi Ibu."
Gita menyipitkan mata, menatap sinis pada Alex yang tersenyum dengan mengendikkan sebelah bahunya. Di bangku belakang Sofie dan Claudia ber-toast ria lengkap dengan sorakan kemenangannya.
"Yeaahh!!!"
💝
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovephobia (Sudah Terbit)
RomanceCover cantik by Milly_W Cover cetak by Tia Oktiva Anggita tak pernah menuliskan kata 'pacaran', 'tunangan' apalagi 'menikah' dalam kamus hidupnya. Gita tak ingin berurusan dengan hal apapun yang bersangkutan dengan sang ayah, termasuk menikah. Tuju...