Up tanpa edit.
Cek typo guuyyysss.... 😁😁😁
💝
Seharusnya Alex memberitahukan lebih dulu inti pertemuannya dengan Rianti pada Gita. Tapi kecanggungan yang masih terjadi antara bapak anak itu membuat Alex sedikit ragu sang guru jutek akan mau ikut dengannya.Lihat saja, wajah Gita yang tadinya banyak tersenyum saat berbincang dengan Rianti kini hanya menatap lurus pada meja tanpa ekspresi. Membuat Alex yang tengah menjelaskan prosedur operasi pencangkokan jantung yang akan dilakukan di Singapura hampir kehilangan konsentrasi.
"Jadi, kapan semua itu bisa dilaksanakan?" tanya Rival setelah Alex selesai menjelaskan.
"Secepatnya setelah semua persiapan dijalankan."
Lelaki di hadapannya mengangguk kecil.
"Ada pertanyaan lain? Dari Mbak Gita, mungkin?"
Napas Alex sedikit tertahan melihat Gita sama sekali tak bereaksi. Di bawah meja, Rianti terus menendang pelan kakinya, seakan mengerti bahwa ada yang tak beres di sini.
"Kalau tidak ada---"
"Kenapa?" Pertanyaan ambigu Gita membuat semua mata tertuju padanya sekali lagi. Sementara mata gadis itu terarah pada Rival, masih tanpa ekspresi.
"Maksudnya?"
"Kenapa Anda mau membantu ayah saya? Dia bukan orang yang tepat untuk mendapat bantuan. Kita bahkan tidak saling mengenal sebelumnya."
"Kakek selalu mengajarkan saya untuk saling berbagi dan menerima. Bahkan kepada orang asing sekalipun. Pendonoran ini adalah amanat terakhir yang beliau berikan kepada saya. Tepat atau tidaknya itu bukan masalah bagi saya. Saya hanya ingin melunasi janji yang pernah dibuat beliau."
"Itu artinya tidak harus ayah saya kan?"
"Tadinya begitu. Tapi sekarang saya berubah pikiran."
"Anda akan menyesali keputusan Anda."
"Saya akan terima semua konsekuensinya."
Alex berdeham, mencoba mengurai ketegangan. Senyumnya sedikit tercetak saat netranya beradu dengan manik milik Rival.
"Apa pembicaraan kita sudah selesai? Saya harus pulang sekarang," ujar Rival setelah melihat arlojinya.
"Ya. Saya rasa semua sudah sangat jelas." Rianti yang sejak tadi terdiam ambil bagian bicara.
"Oke. Kalau begitu saya duluan."
Rianti dan Alex mengikuti Rival yang berdiri dan memberi salam sebelum meninggalkan meja mereka. Namun baru beberapa langkah, lelaki itu berbalik arah. Membuat Rianti yang bersiap pergi menahan niatnya.
"Bu Gita, saya tidak tau masalah yang terjadi dalam keluarga Anda. Tapi saya yakin semua itu tak akan berakhir jika masing-masing pihak tetap memertahankan egonya. Dan sebagai anak, saya rasa tak ada salahnya jika Anda yang memulai untuk memperbaiki hubungan itu. Permisi."
Sepeninggal Rival, Gita bergeming. Tak ingin mengganggu, Rianti berpamitan pada Alex dengan lambaian tangan, yang dijawab lelaki itu dengan anggukan dan senyum tipis. Hingga sepuluh menit berlalu, barulah hembusan napas panjang Gita terdengar pelan. Senyuman manis adalah hal pertama yang tercetak di wajah Alex saat mereka bertukar pandang.
"Jadi, apa saya mengacaukan pertemuan malam ini?"
"Not yet. Ibu berhasil meyakinkan Pak Rival untuk menjadi pendonor."
"Oh ya? Padahal saya berharap sebaliknya."
Tak acuh, Gita bangkit dari duduknya setelah mengeluarkan uang begitu pramusaji menyerahkan billing atas panggilan Alex. Tanpa menunggu dilangkahkan kaki keluar kafe dengan Alex mengikuti di belakang.
Dalam keheningan sesekali Alex melirik pada Gita yang masih setia memandangi pinggir jalan dari balik kacanya. Tak sedikitpun dirinya bisa meraba apa yang tengah dipikirkan guru itu. Bahkan hingga tiba di depan rumah kontrakan sang guru, Alex masih tak mampu membuka obrolan.
"Apa?" tanya Gita yang ternyata menangkap gelagat aneh Alex.
"Ibu marah? Pertemuan tadi?"
Tangan Gita yang baru saja menggapai handel pintu terlepas. Pandangannya terarah lurus ke depan, membuat Alex bingung karena masih tak bisa membaca ekspresi datarnya.
"Kalau Ibu emang keberatan, saya bisa membatalkan semuanya. Tapi kalau saya boleh kasih saran, lebih baik rencana baik ini dilanjutkan. Jaman sekarang susah cari orang yang rela mendonorkan organ tubuh keluarganya. Anggap saja ini kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan yang pernah beliau lakukan. Itu menurut saya."
Helaan napas panjang Gita lagi-lagi membuat Alex menggigit bibir. Senyuman hangatnya tak mampu menyentuh hati sang guru. Terlihat dari ekspresi wajah kakunya saat menoleh.
"Suara Bapak berisik banget. Pusing saya dengernya."
Alex membatu dengan mulut setengah mengangak mendengar kilahan itu. Setelah tersadar, cepat-cepat disusulnya langkah sang guru sebelum menghilang di balik pintu rumah.
"Kapan kita jalan lagi? Eh, ibu masih mau kan jalan---"
"Kapan Claudia pulang?"
Alex menunduk sambil mengusap tengkuknya. Kalau sebelumnya dia bersemangat menjawab pertanyaan itu, sekarang dia justru merasa ragu. Terlebih dengan suasana hati Gita yang tak menentu.
"Claudia nggak balik lagi ke sini?" pancing Gita mendapati kekikukkan lelaki itu.
"Balik kok."
"Kapan?"
"Uhm...."
Kedua alis Gita terangkat sementara kakinya terus bergerak tak tenang dengan jemari mengetuk pelan jarinya di daun pintu.
"Pak?"
"Diabilangbakalanpulangkalauibumauterimalamaransaya," jawab Alex dalam satu hembusan napas.
💝
Udah ya...
Cukup lah ya...
Wkwkwkwk.....Jangan bilang pendek, karena ini emang pendek banget. Hahaha...
Gak tau kenapa belakangan ini feel aku buat nulis kayak ngilang gitu... Padahal di otak nih udah ada scene-nya begini begitu, tapi pas ngetik tuh... BUUZZZZ!!!!!! Ambyyaarr semua...
Sedih aku tuhh....
Bangka, 01.10.19
Dwi Marliza
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovephobia (Sudah Terbit)
RomanceCover cantik by Milly_W Cover cetak by Tia Oktiva Anggita tak pernah menuliskan kata 'pacaran', 'tunangan' apalagi 'menikah' dalam kamus hidupnya. Gita tak ingin berurusan dengan hal apapun yang bersangkutan dengan sang ayah, termasuk menikah. Tuju...