Tentang Laki Laki yang Memiliki Nama Senja...

18 0 0
                                    

Andi Senja...

Dan saya benar benar berterima kasih kepada pemilik nama itu, di manapun ia berada saat ini. Berkah tersendiri ketika menemukan hal lain yang patut di berikan iba dan curahan rasa kasihan, selain diri sendiri yang sekarang tengah duduk di salah satu pondokan buatan sebagai tempat untuk para pengunjung di tempat tersebut, tidak peduli mereka adalah manusia yang sedang merasa paling bahagia atau sebaliknya, bersedih seperti saya, dengan gaun panjang dan sebelah sepatu yang kehilangan pasangannya.

Apakah nasib seorang perempuan itu akan selalu serupa beruntungnya dengan saat dimana pasang sepatu dalam etalase toko yang dijemput oleh pembelinya dan akan sama pula sialnya ketika benda yang berfungsi melindungi kaki itu tak lagi mempunyai arti saat hilang sebelah?

"Sudah ah! paling tidak nasibku tak samalah dengan namanya, Andi Senja..." Ujarku, dengan suara terkekeh yang membuat perih. "...Namamu saja Senja. Nama yang menggambarkan waktu dimana matahari mau beranjak. Mau pamita...Udah dari kecil kali yah kamu terlatih hatinya di tinggalin?" dan sebagian kalimat tertahan di antara tenggorokan, tak terucap namun berseru nyaring dalam kalbu. Sebagaimana manusia yang masih memiliki hati nurani, berujar juga mesti di batasi.

Tetapi tetap, kasihan. Namamu terdengar menyedihkan.

.

.

.

Adzan usai berkumandang dan bisa di pastikan bahwa tempat wisata perlahan mulai di tinggalkan pengunjung. Jangan sampai jadi yang paling terakhir pergi dari tempat itu, karena dua kali berjumpa dengan apa apa yang berhubungan dengan kehilangan karena ada yang pergi itu bukannya mudah. Baper? iya. Sedih? Tak perlu ditanya.

Kaki ini terus melangkah untuk mendekati area parkiran motor yang di sediakan pengelolah kawasan wisata, yang letaknya cukup jauh dari lokasi wisata pantai yang saya datangi. Gaun putih gading dengan tambahan hiasan yang menyerupai kebaya ini bahkan koyak pada bagian bawah karena di paksakan untuk kondisi yang bukan seharusnya baju ini dikenakan. Harusnya ganti baju dulu tadi...atau paling baiknya, sekalian tidak perlu dipakai. Lepas aja? Otak saya masih belum bergeser sehingga tahu jika yang seperti itu hanya tindakan yang memalukan nan amoral.

Jadi beginilah, berjalan dengan baju yang sedikit sobek dan kaki yang kehilangan sebelah sepatu menjadi apa yang harus saya lalui. Kaki saya terus bergerak, bangkit dari pasir yang beberapa kali terasa menenggelamkan hingga pada akhirnya ketika susah itu nyaris berakhir...

"Bukannya kamu..." Pemilik suara itu jeda sebentar. Terima kasih, Tuhan masih berbaik hati...

lalu kembali berkata dirinya, "...mahasiswi yang tidak izin absen di mata kuliah saya karena mau nikah itu?"

...Rupanya tidak. Kesusahan itu sepertinya berlanjut dengan pertemuan yang tidak saya harapkan dengan apa yang menurut saya adalah gambaran dari menyedihkan lainnya.

"Pak...Andi Senja?"

*

Beliau yang kini duduk di sebelahku ini adalah dosen pengampu salah satu mata kuliah wajib untuk jurusan. Pria yang kerap di gosipkan telah masuk dalam kategori usia-calon-ayah-namun-masih-betah-menjomblo itu secara kebetulan ditunjuk langsung oleh salah satu guru besar di Universitas tempat saya menimba ilmu, dengan mempertimbangkan kemampuan serta peraihan pria lulusan terbaik salah satu kampus kenamaan di Korea Selatan ini. Saya, yang tidak pernah diberkahi kemampuan bernalar setingkat mantan Presiden Indonesia yang kisahnya telah di filmkan, atau pula tipikal yang mudah memahami banyak hal dengan sekali dua kali belajar ini, hanya bisa memahami bahwa aspek aspek dalam hidup si dosen ini begitu mencerminkan pencapaian yang baik.

KumCer Akiphylia (Kumpulan Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang