"Duh Mbak Aira bikin gemes deh, udah mau nikah tapi masih aja pura-pura nggak tau," godanya.
"Emang nggak ngerti kok. Lagian, segala segel dibawa-bawa, dikira saya ini biskuit lebaran???? Udah deh lanjut aja Mbak."
Aku sudah pasrah, terserahlah, yang penting ini semua cepat kelar.
"Hihihihihihihihihi."
Mbak Ayu nampak cekikikan di timing yang menurutku sudah lewat."Anjir! Jadi merinding, mana wangi lagi nih tempat."
•••
"Aira ayo bangun kita udah sampe rumah," kata Bunda membangunkanku yang tertidur selama perjalanan pulang. Jujur saja badan ini jadi lebih enteng setelah perawatan tadi siang.
"Hoaaaaammmm ...."
Aku menilik jam di ponsel, waktu menunjukkan pukul 16.30 WIB dan benar mobil Ghea sudah terparkir di halaman rumah yang semakin ramai karena sebagian keluarga sudah datang.
Dengan masih mengumpulkan nyawa, aku turun dan masuk ke rumah, menyusul Bunda, sedangkan Ghea langsung pamit pulang.
"Calon pengantin kok lesu gitu sih?"
Sebuah suara terdengar dari samping kiri. Itu suara Bang Fadhil, tidak salah lagi dan bagai digelonggong kopi, rasa kantukku lenyap saat itu juga."Bang Fadhiiiiil!!!!"
Aku berlari ke arah Abang satu-satunya ini dan langsung memeluknya.
"Gue pikir lo nggak bakal pulang Bang, astagaaaa, kenapa baru datang?"
Aku sedikit memundurkan kepala dengan lengan yang masih melingkari pinggangnya."Hehehe ya nggak mungkinlah Abang nggak dateng. Adek Abang yang bawel ini kan mau nikah, masa iya Abang tega sih."
Bang Fadhil pun mengacak rambutku gemas.
"Abaaangg ... kenapa sih hobby banget ngacak-ngacak rambut gueeee?"
Aku mengerucutkan bibir dan menyiapkan kepalan tangan untuk meninju perutnya hingga suara Bunda menginterupsi.
"Udah jangan berantem, yuk ah masuk," ajak Bunda, menggagalkan aksiku yang tinggal seujung kuku.
•••
Sekarang, jam dinding di kamar menunjuk tepat di angka 23.45 WIB, tapi aku belum bisa tidur. Jadilah, aku berakhir hanya dengan bergulang-guling bak pisang goreng Mamang-Mamang yang dibolak-balik agar tidak gosong.
"Aduuhh jadi laper kan, tapi nggak ... nggak ... bisa-bisa kebaya gue nggak muat lagi."
Frustrasi, akhirnya aku membuka ponsel dan mengecek timeline instagram yang sumpah tidak menolong sama sekali, karena penggunanya sudah pada tidur. Aku scroll ke atas dan ke bawah pun tidak ada yang menarik minat.
"Terserah deh, bosenin," keluhku sambil menekan home button dan melemparkan ponsel ke sembarang arah.
Beberapa menit kemudian.
Ting!
Satu pesan whatsapp masuk dari nomor yang tidak dikenal.
____
08145237xxxx
• Sudah tidur?
??????????????????????✔️✔️
• Ini saya.
Siapa sih?✔️✔️
• Tidak usah pura-pura tidak tahu.
Iya siapaaaa?? Woy!!!✔️✔️
• Saya, yang akan menikahi kamu besok.
Ohhh calon suami gue maksudnya, bilang dooong dari tadi. Bego lu ah! ✔️✔️
____
Tidak tahu kenapa tiba-tiba rasa kantuk yang sedari tadi kuharapkan, akhirnya datang juga setelah mengirim balasan whatsapp yang terakhir—yang hanya dibaca oleh lawan chatting-ku itu.
Setelah meletakkan ponsel di atas nakas, perlahan aku memejamkan mata, bersiap memasuki alam mimpi indah yang kujamin tidak akan lagi bisa kudapatkan setelah besok pagi.Hingga tiba—seakan tersadar oleh sesuatu, dengan serampangan aku meraih kembali ponsel di samping dan membaca ulang percakapan singkat barusan.
"OMG! Gilaaakk! Jadi yang barusan whatsapp itu calon suami gue yang nggak lain dan nggak bukan adalah Pak Raesha? Iya? Hah? Dan gue ngatain dia begooooo????? Odoooong!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pak Dosen, Ai love you! (End)
Aktuelle LiteraturSebuah cerita tentang bagaimana cinta tumbuh di antara dua anak manusia yang berstatus dosen dan mahasiswanya. Awalnya memang biasa bahkan terkesan klasik bak Siti Nurbaya. Namun, itulah hebatnya cinta, selalu punya cara menyatukan dua hati agar ber...