[Setelah Aira mampu menguasai dirinya kembali]
"Mas, kira-kira ada yang curiga nggak yaa kita nggak balik ke hotel gini?"
"Hm ... nggak tahu juga Ai, tapi palingan mereka lagi sibuk main dan nyari hiburan masing-masing hihihi."
Tapi tetap saja wajah Aira tak menunjukkan banyak kelegaan.
"Udah nggak usah dipusingin, kalaupun ada yang curiga, mereka nggak akan langsung mikir kita berdua sedang bersama."
"Iya sih."—mencoba masa bodoh akhirnya.
"Oh iya Ai ... apa kamu emang sengaja nglepas cincin nikah kita?"—teringat saat tadi memboncengnya dan menyadari jari Aira yang kosong tanpa benda melingkar itu.
"I-iya ... soalnya anak kampus udah ada yang ngeh sama miliknya Mas jadi ... daripada mereka nyari tahu, aku lepas aja," jawab Aira, gusar.
"Ada yang ngeh?" tanya Raesha, mengangkat tangan kanannya sendiri—meneliti cincin miliknya di sana.
"Adaaa ... tapi kalo Mas keberatan tentang itu, aku bakal pakai lagi."
Harap-harap cemas.
"Nggak masalah kok Ai, asal jangan sampai hilang, nanti Mama bisa ngomel hahaha"
Mendengar pernyataan Raesha ini, Aira jadi lega.
"Hihihi Iyaa pasti disimpan baik-baik kok."
Raesha manggut-manggut.
"Eh ... terus gimana kakinya, apa mau Mas pijitin lagi?"—kembali fokus ke kaki Aira.Menggeleng, Aira menjawab, "Nggak usah, ini udah enakan kok ... makasih yaa hehehe ternyata Mas Raesha ada bakat juga jadi tukang urut."—mengubah posisi jadi bersila.
"Hahaha ... yaudah kamu tidur gih, udah larut, supaya besok nggak telat bangunnya."
"Mas juga tidur ya."
Raesha mengiyakan.
"Loh, kok di situ?" tanya Aira terusan, melihatnya turun dari ranjang dengan membawa satu bantal menuju sofa.
"Nggak papa," ucap Raesha.
"Tapi kan nggak ada selimut lagi, dingin loh."
"Nggak kok Ai, di sini hangat, udah kamu tidur aja."—mulai membaringkan badannya.
Meski awalnya tak tega tapi Aira membiarkan, sebab was-was juga—sedikit, jika harus seranjang bersama Raesha. Lalu, setelah mematikan lampu di sampingnya, ia menarik selimut dan mulai tidur.
•••
Tampak, Aira yang sudah pulas, berbeda dengan Raesha yang masih berusaha memejamkan mata di sofa. Rasa kantuk yang tak jua menyapa, membuat laki-laki itu merasa bosan, ia pun berjalan menuju jendela, lalu membukanya agak lebar.
Cukup lama Raesha terdiam—memandang bulan yang tertutup oleh awan dengan rintikan gerimis yang masih tersisa.
Napasnya seketika berat saat nama itu kembali terseru dalam benak, satu nama yang berhasil mematikan hatinya. Membuatnya takut untuk membuka diri bagi dia yang lain selama ini—tidak baik memang merenung sendiri malam-malam, karena biasanya di waktu-waktu begini segala perihnya masa dulu, ditampakkan.Kembali.
Sebagai seorang manusia biasa—terlebih lelaki dewasa, ada kalanya Raesha merindukan lembutnya belaian cinta di dalam hidupnya. Tentu, banyak perempuan yang mencoba untuk mendekati dirinya sebelum menikah, tapi tak lantas dengan gampang rasanya hanyut terbawa godaan—apa daya, hatinya menjadi—terlalu, begitu susah untuk berdenyut kini. Tertutupi oleh rasa enggan dikecewakan di kemudian hari. Terbentur perasaan, akan ditinggalkan pada akhirnya setelah seluruh hal dia beri.
Meski demikian, relung terdalamnya pernah bersuara—menerka-nerka dimana kiranya ada cinta yang Tuhan cipta untuknya, yang memberi lagi hangat dalam beku jiwanya.
"Huft ...."
Laki-laki dengan tinggi 183 cm ini mendongak—meraup udara sebanyak-banyaknya. Mengganti gundah berikut resah dengan segarnya hawa serta aroma hujan yang menenangkan.
Ditutup kembali jendela itu ketika angin malam mulai menusuki kulitnya lebih dingin daripada tadi.
Raesha mulai meringkuk namun kembali bangun dan mendekat saat—entah karena terlalu lelah, Aira menggumam dalam tidur.
"Ssttt ... sttt ...."
Ditepuk-tepuk lengan gadis itu—pelan, membuatnya kembali damai.Masih duduk di tepi ranjang, Raesha tersenyum kini—sembari merapikan anak rambut perempuan di hadapannya yang sedikit berantakan karena posisi tidur. Dia susuri garisan wajah yang lembut itu dengan bibir tipis Aira yang sesekali berkedut lucu.
Kemudian Raesha bergeming, namun masih mengunci pandangannya di tempat yang sama.
"Menurut kamu ... seseorang sepertiku ... apa bisa jatuh cinta lagi, Ai?" lirihnya pada Aira yang tengah lelap.
Napas Raesha terembus kentara, senyum tipis yang serasa meragukan diri sendiri pun kembali tampak.
Tik ... tik ... detik jam dinding mulai terdengar jelas—saat gerimis di luar mulai menghilang.
Dibetulkannya selimut Aira dan mulai beranjak—tapi lalu, dia tertegun ketika kelopak mata Aira terbuka—dua pasang sorot mata itu saling bertabrakan. Menembus kedalaman masing-masing yang masih begitu gelap, tanpa ada yang tersirat.
Sirna kata.
Diam dua-duanya.
Cukup lama.
Hingga ...
Aira kembali terpejam.
Raesha pun langsung terkekeh pelan—hampir saja dia mati duduk karena tertangkap basah sedang mengagumi muka polos Aira bahkan sampai bertanya sesuatu seperti tadi.
Syukurlah, mungkin istri hasil perjodohannya itu sedang tidak sadar barusan, pikirnya.
Segera dia beringsut ke sofa—mulai merangkai mimpinya yang semoga saja ... indah.
🎵 Tentang Seseorang — Marcell
KAMU SEDANG MEMBACA
Pak Dosen, Ai love you! (End)
General FictionSebuah cerita tentang bagaimana cinta tumbuh di antara dua anak manusia yang berstatus dosen dan mahasiswanya. Awalnya memang biasa bahkan terkesan klasik bak Siti Nurbaya. Namun, itulah hebatnya cinta, selalu punya cara menyatukan dua hati agar ber...