AIRASetelah pikiran yang aneh-aneh di kepalaku hilang, maka rebahan di ranjang menjadi pilihan. Sesekali aku menyebar pandangan ke sekeliling kamar dengan warna yang lebih condong ke earthy tone ini—berbeda dengan kamarku sebelumnya, tapi tidak buruk justru menambah kesan yang lebih dewasa.
"Eh lucu."
Kuraih satu-satunya boneka yang ada, berbentuk bebek kecil berwarna kuning, di samping atas kepala dan memainkan bulu-bulunya. Gemas sekali jika memang Pak Raesha sengaja menaruhnya di sini.Beberapa saat kemudian.
"Hadeh, enak sih bisa tiduran gini tapi akan lebih nyaman lagi kalau gue bisa mandi dulu, ck, tapi kan nggak ada baju ganti," gumamku yang lalu beralih ke sisi lemari. Siapa tahu ada handuk di situ, lumayan yang penting agak segar nantinya.
Waktu kubuka, ternyata malah ada sebuah sleep dress bermotif bebek juga tergantung di dalam dan masih ada tag-nya.
"Baru nih .... Oh, jadi ini pasangannya boneka tadi? Hahaha."
Dan tanpa berpikir lagi, aku mengambil itu sebagai baju ganti sebab sudah semakin lengket saja rasanya, gerah.
Skip.
Masih dengan rambut yang sedikit basah, aku keluar dari kamar ketika rasa haus ini menyerang. Bergerak menuju dapur dengan kondisi apartment yang sepi membuatku bergumam, "Mungkin Pak Raesha lagi istirahat."
Sempat aku ragu, kira-kira sopan tidak ya jika langsung nyelonong-nyelonong seperti ini?
Ah, tapi bayangan air soda kalengan yang semakin menggelitik kerongkongan membuatku masa bodoh sih akhirnya."Gilak! Yakin nih nggak ada apa-apa?" celetukku sambil geleng-geleng waktu membuka kulkas milik Pak Raesha.
Tidak orangnya, tidak kulkasnya sama-sama lempeng, polos, tak ada warna-warninya sama sekali. Warna merah apel lah, hijau sayuran gitu atau apa deh yang lain, tapi justru hanya ada sekitar 4-5 botol air mineral yang berjajar di bagian pintunya.
Mau tidak mau, membuatku beranjak ke bagian kabinet untuk mengambil gelas kosong.
"Yah ... tinggi dong."
Aku sadar ketika melihat ke atas.Sudah adanya air putih, sekarang letak gelasnya pun menjadi cobaan?
"Sini saya ambilkan," kata makhluk kasatmata yang tiba-tiba muncul dari belakang, yang tidak lain adalah Pak Raesha dan itu membuatku sedikit terlonjak.
Membuang napas lalu berbalik.
"Bapak, bikin saya kaget tau."Dia langsung berpindah ke sampingku, mengambil satu gelas dengan gampang—iyalah secara aku hanya mentok sebahunya, kurang malah.
"Karena di sini hanya ada saya, maka letaknya dibuat agak tinggi."—memberikan itu padaku.
"Makasih."—segera kutuang air dingin dan mulai menenggaknya hingga tandas. Tidak cukup sekali, kerongkonganku minta dibasahi hingga dua kali lagi, biar kenyang juga masalahnya.
Btw, kuperhatikan, Pak Raesha sudah mengganti pakaiannya dengan kaus polos warna putih dipadu dengan celana panjang abu-abu. Rambutnya sudah terlihat tidak serapi tadi dan ada beberapa titik minyak di bagian t-zone wajahnya. Benar-benar tampilan khas orang rumahan, tapi meski begitu masih tetap terlihat tampan.
"Orang cakep mau gimana juga tetep cakep ckck ... loh kok malah itu lagi sih yang gue pikirin."
"Oh iya kamu juga jangan heran jika di kulkas saya tidak ada apa-apanya, sudah lama saya tidak mengisinya karena biasa makan di luar, tapi nanti kita bisa belanja dan masak sama-sama," terangnya, seakan menjawab keheranan yang kurasakan tadi.
"Pantesan hampa," ucapku mendramatisir lalu terkekeh kecil.
"Sama saja dengan saya, saya pun hampa," balasnya tertawa.
"Curhat colongan ya?" tanyaku meledek sambil mengelap mulut menggunakan punggung tangan lalu meletakkan gelas di atas meja.
Dia pasrah mengangguk. "Mumpung ada yang dengar kan? Memang tidak boleh?"
"Hahahaiya iyaaa, tidak ada yang melarang," ucapku sambil berjalan menuju wastafel untuk mencuci gelas bekas ini.
Bersamaan dengan air kran yang menyala, samar-samar kudengar Pak Raesha berbicara lagi.
"Tapi saya sudah tidak khawatir sekarang sebab sudah ada kamu yang menemani, bahkan mungkin ... kamu juga yang akan selalu mendengar segala celotehan saya sampai tua nanti."Mematikan airnya. "Heh, gimana? Bapak bicara apa barusan?" tanyaku terusan karena sedikit ragu bisa saja aku salah dengar.
"Hmm ... tidak ada, lupakan saja Aira."—-menggeleng ringan sambil menyimpan kedua tangannya di saku celana.
"Padahal gue pengen denger sekali lagi tapi yaudahlah mungkin dia nggak sadar juga tadi eehhh ... kenapa ngarep?"
Lalu, teringat baju yang sekarang kupakai. "Oh iya Pak, maaf saya pakai baju ini ... tadi ada di lemari.""Itu memang saya siapkan buat kamu makanya saya taruh di sana, tapi maaf hanya satu karena jujur saya tidak tahu selera kamu seperti apa, dan daripada telanjur sedia banyak tapi tidak terpakai ... besok kita bisa beli lagi yaa sesuai dengan yang biasa kamu pakai."
"Tidak perlu minta maaf Pak, ini sudah cukup, saya pun tidak masalah dengan modelnya. Dan tidak perlu beli lagi, nanti malam saya kan bisa pulang untuk mengambil baju di rumah Ayah."
"Ya sudah nanti kamu bisa pergi dengan saya," lanjutnya.
"Saya bisa sendiri kok," ucapku, takut merepotkan.
"Tidak apa-apa sekalian kita belanja keperluan rumah yang sekiranya kurang atau nggak ada," tambah Pak Raesha yang kini terlihat mengedarkan pandangan ke sekeliling,
"Baik kalau begitu."—menurut saja.
Lalu, Pak Raesha bergerak maju dan mengacak rambutku untuk pertama kalinya.
Tubuhku menegang, sudah pasti.
"Itu baru jawaban yang ingin saya dengar ... kamu sudah punya saya, jadi jangan kemana-mana sendirian lagi."
Blush!
Punya saya?
Ini bercanda atau ... bergurau???
KAMU SEDANG MEMBACA
Pak Dosen, Ai love you! (End)
Fiksi UmumSebuah cerita tentang bagaimana cinta tumbuh di antara dua anak manusia yang berstatus dosen dan mahasiswanya. Awalnya memang biasa bahkan terkesan klasik bak Siti Nurbaya. Namun, itulah hebatnya cinta, selalu punya cara menyatukan dua hati agar ber...