[11] Bukya Segyel

65.6K 3.8K 91
                                    


AIRA

"Lupakan saja, sudah tertelan barusan," kata Pak Raesha sambil mengarahkan tusuk sate yang dia pegang ke piringku. "Sini, bagi saya tomatnya juga dong," lanjut dia (masih) dengan santainya.

Aku auto bingung sambil memperhatikan Pak Raesha yang asyik makan beberapa potong tomat.

Terheran-heran.

"Nih orang lagi kenapa sih? Kesambet setan komplek? Apa kejedot pintu pas tadi ke rumah gue??"

Tapi, satu hal yang perlu kalian semua tahu, malam ini aku merasa agak bahagia, tapi jangan ditanya alasannya karena aku sendiri tidak mengerti.

Kembali menghadap ke wajahnya dan kali ini mataku menangkap ada sedikit bumbu sate di sudut bibir Pak Dosen.

"Pak," panggilku membuatnya menoleh.

"Iyaa?"

Dan ... srrtt ... aku mengelap itu menggunakan ujung jari.

Tertahan—"DUUHHH REFLEKS DOOOOOOOOOOGGGG."

Hening.

Saling menatap satu sama lain.

Sumpah, adakah mantra untuk menghilang yang bisa  kuamalkan sekarang???

Toloooong, AKU BUTUHHH!!!

•••

RAESHA

Sabtu ini, aku sengaja tidak ke kantor, tapi masih mengajar di kampus seperti biasa. Iya, tidak perlu diingatkan, aku tahu besok adalah hari pernikahanku.

Semalam, Aku dan Aira memang sepakat untuk tetap berangkat ke kampus, menjalankan kewajiban kami seperti biasa sebagai dosen dan mahasiswa.
Kami memang tidak memberitahu orang-orang kampus perihal pernikahan ini, walaupun kampus juga tidak melarang mahasiswanya untuk menikah di tengah proses studi. Tapi, kami pikir itu yang paling baik sekarang, terlebih aku juga baru dua bulan menjadi dosen disana, pasti akan sangat aneh jika tiba-tiba ada berita bahwa aku menikahi mahasiswaku sendiri.
Lagipula aku dan Aira menikah juga karena perjodohan, jadi tak ada yang perlu dibanggakan.

AIRA

Hari ini, aku berangkat kuliah seperti biasa. Aku bisa menebak kalian semua pasti sudah tidak kaget kenapa aku masih ngampus padahal besok akan menikah, iya kan?

Untungnya, hari ini hanya ada satu mata kuliah jadi tidak terlalu melelahkan.

Sekarang masih jam setengah sebelas siang dan aku sudah berada di dalam mobil Ghea yang entah akan membawaku ke mana, karena dia  hanya menyuruhku untuk menurut dan diam saja kali ini

"Ghe, sebenernya lo mau bawa gue kemana sih?"
Ini pertanyaan yang ke seratus dua puluh satu. Iya, kalian semua tidak salah baca, sebegitu penasarannya aku, sumpah!

"Aduh Ra ... kan udah gue bilang lo itu ikut aja, tenang aja bentar lagi juga nyampe kok, jadi nggak usah tanya-tanya terus, budeg gue, oke?" kata Ghea yang masih fokus menyetir.

"Sebenernya ini mau kemana sih?" monolog gue, mengerucutkan bibir.

Benar kata Ghea, karena tidak sampai 15 menit, kita berdua sudah berada di depan sebuah bangunan berarsitektur Bali lengkap dengan patung dan payung ala sana, tepat di depan pintu masuknya. Di dinding sebelah kanan terdapat tulisan "Balinese Beauty and Spa"

Dahiku berkerut. "Lo nggak salah ngajak gue kesini?" tanyaku sambil turun dari mobil.

"Ya nggaklah, masa gue salah sih," jawabnya santai.

"Ya tapi ngapain Ghe lo bawa gue kemari?" Aku masih penasaran.

"Ya perawatanlah, masa ngelamar kerja ... besok kan lo nikah Ra ... jadi wajib banget hukumnya untuk ngelakuin perawatan pra-nikah ... ya itung-itung nyenengin Pak dosen gue yang ganteng itu."

Ghea menaik-turunkan alisnya, yang sukses membuatku mendelik jijik.

"Nggak!! Nggak mau, ogah gue, pokoknya gue mau balik!"

Aku memutar badan ke arah pintu mobil dan berniat membukanya sebelum ...

"Loh kalian udah nyampe, kok belum masuk?"

Terdengar suara perempuan dari dalam, refleks aku menoleh.

"Bunda????"

Aku terkejut karena ternyata ada Bunda juga di sini.

"Iya ini Bunda. Udah sini cepetan masuk. Kasihan loh Mbaknya udah nungguin dari tadi," perintahnya.

"Udah jangan bengong, ayook ah Ra masuk."
Ghea menuntunku untuk masuk sedang aku yang dituntun hanya pasrah akhirnya.

"Nah Mbak Ayu, ini Aira, calon pengantinnya, kasih perawatan seperti yang tadi saya bilang ya," titah Bunda pada seorang wanita berumur 30 tahun-an yang kuyakini adalah terapisnya.

"Baik Bu Dian, pokoknya beres, ayo Mbak Aira ikut sama saya," ajak terapis yang bernama Mbak Ayu itu.

Sejurus kemudian, aku sudah berada di sebuah ruangan perawatan yang didominasi dengan wewangian khas Bali dan sayup-sayup terdengar alunan musik Bali juga, jujur saja sih memang membuat relax.

"Ini Mbak Aira ganti pake kemben dulu ya."
Mbak Ayu memberi satu buah kain bermotif batik dan aku menurut saja.

Tidak terasa sudah hampir dua jam aku di dalam, menerima beberapa perawatan mulai dari massage, lulur, dan totok. Lumayanlah badanku yang memang pegal-pegal dari kemarin menjadi lebih enak dan nyaman.

"Nah sekarang Mbak Aira duduk disini selama 30 menit ya habis itu baru berendam disana."
Mbak Ayu memberi perintah.

"Ini apaan Mbak? Kenapa ada tungku? Emangnya saya ikan roa pake diasep-asepin segala."
Aku penasaran untuk apa coba aku harus duduk di atas tungku begini.

"Ini namanya ratus, Mbak."

"Ratus? Ratus apaan? Ratusan ribu baru saya paham."

Mbak ayu tertawa.

"Mbak Aira ini lucu ya, Ini perawatan untuk bagian kewanitaan biar wangi dan kesat jadi nanti suaminya seneng dan ketagihan pas buka segel," jawab Mbak Ayu dengan sedikit malu-malu, sedangkan aku cengo.

"Haaah???"

Pak Dosen, Ai love you! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang